Ketika Nabi Sulaiman ditinggalkan putranya, ia sangat sedih, lalu datanglah dua malaikat (menghiburnya dengan mendramakan kenyataan yang dialami olehnya), seakan punya urusan (sengketa). Malaikat pertama berkata: Sang raja, aku menanam biji (sudah tumbuh baik) tapi belum kunikmati hasilnya, tahu-tahu dicabut oleh orang ini. Ia menyatakan kebenaran pengaduan orang pertama, bertanya pada orang kedua: kenapa kau lakukan? Jawabnya :
Jumat, 10 Desember 2010
Sabtu, 27 November 2010
Takwa Yang Dipertunjukkan Abu Bakar
Tidak ragu lagi bahwa Abu Bakar r.a. merupakan manusia yang paling tinggi mertabatnya dikalangan para sahabat. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri pernah menyampaikan berita gembira mengenai kedudukannya yang utama diantara penguni-penghuni syurga yang maha mulia.
Selasa, 16 November 2010
Bunda Siti Hajar
Betapa mesra panggilan ayah dan anak di saat suasana demikiam mencekam dan mendebarkan dan harusnya penuh haru itu. Betapa ikhlas mereka untuk memenuhi perintah Tuhan.
Mari kita melakukan flashback lebih jauh lagi ke belakang, untuk mengingat bahwa sesungguhnya ada seorang tokoh IBU, yang sangat berperan dalam proses
Mari kita melakukan flashback lebih jauh lagi ke belakang, untuk mengingat bahwa sesungguhnya ada seorang tokoh IBU, yang sangat berperan dalam proses
Kamis, 11 November 2010
Wali Songo
Senja hampir bergulir di Desa Gapuro, Gresik, Jawa Timur, menjelang bulan Ramadhan itu. Tak ada angin. Awan seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu terpacak bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8 April 1419.
Kamis, 04 November 2010
Fatimah Az-Zahra Radhiyallohu 'anha
Suatu hari masuklah Rasulullah s.a.w. menemui anakandanya Fathimah az-zahra ra. Didapatinya sedang menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah s.a.w. bertanya pada anakandanya, "Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah?, semoga Rasulullah s.a.w. tidak menyebabkan matamu menangis".
Senin, 01 November 2010
HASUD, DENGKI DAN IRI
"Dengki dan hasud keduanya dapat menghapus amal kebaikan seperti api membakar kayu" (Al-Hadits)
dan dengan sana serupa, Ibrahim bin Iliyah bin Ubbad bin Ishak dari Abdurrahman bin Mu'awiyah, katanya : Nabi saw. bersabda :
Tiga perkara, seseorang tidak dapat selamat darinya, yaitu :
1. Prasangka buruk
2. Hasud
3. Rasa khawatir (tidak memperoleh sesuatu)
Kamis, 21 Oktober 2010
DZIKIR
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalmu terbaik dan paling bersih dalam pandangan Allah swt, serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga memotong lehermu?” Para sahabat bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dzikir kepada Allah swt.” (H.r. Baihaqi).
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalmu terbaik dan paling bersih dalam pandangan Allah swt, serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga memotong lehermu?” Para sahabat bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dzikir kepada Allah swt.” (H.r. Baihaqi).
Selasa, 05 Oktober 2010
Sulthonul Auliya Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dan Karomah-karomahnya bag. 2
Telah bercerita asy-Syaikh ‘Adi ibn Musafir al-Hakkar:
Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang telah berkumpul untuk mendengar pengajian asy-Syaikh. Ketika asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sedang berbicara, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Beberapa orang pun berlari meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani mendongak ke langit dan mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku telah mengumpulkan manusia karenaMu, adakah kini Engkau akan menghalau mereka daripadaku?”
Setelah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berdoa, hujan pun berhenti. Tidak setitik hujan yang jatuh ke atas kami, pada hal di sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.
Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang telah berkumpul untuk mendengar pengajian asy-Syaikh. Ketika asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sedang berbicara, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Beberapa orang pun berlari meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani mendongak ke langit dan mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku telah mengumpulkan manusia karenaMu, adakah kini Engkau akan menghalau mereka daripadaku?”
Setelah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berdoa, hujan pun berhenti. Tidak setitik hujan yang jatuh ke atas kami, pada hal di sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.
Sabtu, 25 September 2010
Sulthonul Auliya Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dan Karomah-karomahnya
Assalamu'alaikum Warrohmatullohi Wabarokatuh...
Masih dalam suasana Iedul fitri, Saya memohon kepada Allah Azza Wajalla :"Taqobalallohu minna waminkum, Shiyamana washiyamakum...." Mudah-mudahan Alloh SWT. menerima amal baik kita semua selama bulan Ramadahan, mulai dari shaum kita dan amal-amal lainnya dan mudah-mudahan ada bekas yang terus tersambung ke bulan-bulan berikutnya....amien..."
Masih dalam suasana Iedul fitri, Saya memohon kepada Allah Azza Wajalla :"Taqobalallohu minna waminkum, Shiyamana washiyamakum...." Mudah-mudahan Alloh SWT. menerima amal baik kita semua selama bulan Ramadahan, mulai dari shaum kita dan amal-amal lainnya dan mudah-mudahan ada bekas yang terus tersambung ke bulan-bulan berikutnya....amien..."
Jika dalam kisah atau cerita yang tertulis disini banyak hal yang diluar nalar kita, jangan jadikan fitnah, tapi petiklah Hikmahnya....
Jumat, 20 Agustus 2010
Pendakian Menuju Allah SWT
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan . (QS. 90:10)
Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS. 90:11)
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS. 90:12)
Semua orang menyadari bahwa hidup di dunia adalah ibarat perjalanan yang panjang menuju Allah. Karena Allah-lah akhir dari tujuan hidup kita. Dan untuk itu Allah telah memberikan kita jalan, melalui Cahaya-cahaya-Nya. Diantara Cahaya-Nya adalah Al-Quran -dialah An-Nur-, Rasulullah SAW- dialah Sirajan-munira (pelita yang menerangi)-, Ahlul bait Nabi- yang laksana bintang, para Sahabat, Para Ulama, Para Syuhada, para Shalihin. Dan juga cahaya di dalam diri kita indera, perasaan, akal, dan Hati nurani. Cahaya di atas cahaya...
Sabtu, 14 Agustus 2010
Malik bin Dinar -Rohimahullah-
Kehidupanku dimulai dengan kesia-siaan, mabuk-mabukan, maksiat, berbuat zhalim kepada manusia, memakan hak manusia, memakan riba, dan memukuli manusia. Kulakukan segala kezhaliman, tidak ada satu maksiat melainkan aku telah melakukannya. Sungguh sangat jahat hingga manusia tidak menghargaiku karena kebejatanku.
Malik bin Dinar Rohimahullah menuturkan: Pada suatu hari, aku merindukan pernikahan dan memiliki anak. Maka kemudian aku menikah dan dikaruniai seorang puteri yang kuberi nama Fathimah.
Malik bin Dinar Rohimahullah menuturkan: Pada suatu hari, aku merindukan pernikahan dan memiliki anak. Maka kemudian aku menikah dan dikaruniai seorang puteri yang kuberi nama Fathimah.
Jumat, 06 Agustus 2010
Mereka yang takut kepada Allah Azza wa-Jalla
Dari Abdullah bin Dinar berkata: Saya pergi bersama Ibnu Umar radliyallahu 'anhu ke Makkah, di tengah perjalanan, kami berhenti sebentar untuk istirahat. Tiba-tiba ada seorang penggembala turun dari bukit menuju ke arah kami. Ibnu Umar bertanya kepadanya ," Apakah kamu penggembala?" "Ya", jawabnya.(Ingin mengetahui kejujuran anak kecil penggembala itu) Ibnu Umar melanjutkan, "Juallah kepada saya seokor kambing saja." Anak kecil itu menjawab, " Saya bukan pemilik kambing-kambing ini, saya hanyalah hamba sahaya." "Katakan saja pada tuanmu, bahwa seekor kambingnya dimakan serigala", kata Ibnu Umar radliyallahu 'anhu. "Lalu dimanakah Allah 'Azza wa-Jalla ?", jawab penggembala mantap. Ibnu Umar berguman, "Ya, benar. Dimanakah Allah 'Azza wa-Jalla ?" Kemudian beliau menangis dan dibelinya hamba sahaya tadi lalu dimerdekakan . Diriwayatkan oleh Thabrany, para perawinya tsiqqah. Siyaru A'laamin Nubala`, Abu Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahaby (wafat th. 748 H.) II/216
Rabu, 14 Juli 2010
Muka Masam
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran itu suatu peringatan. Maka siapa yang menghendaki, tentulah ia memperbaikinya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (Abasa: 1 — 6).
Pada suatu malam Rasulullah saw. mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, seraya mengharap semoga mereka masuk Islam. beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah Saifullah Khalid bin Walid.
Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau. Sementara, beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba datanglah seorang yang buta minta dibacakan ayat-ayat Alquran. Katanya, “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada mu !”
Rasulullah terlengah tidak memperdulikan permintaan seorang buta itu. Bahkan, beliau agak acuh terhadap interupsinya itu. Lalu beliau membelakanginya dan melanjutkan pembicaraan dengan para pemimpin Quraisy tersebut. Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam bertambah kuat dan dakwah bertambah lancar. Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah saw. bermaksud pulang. Tetapi, tiba-tiba penglihatan beliau menjadi gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian, Allah mewahyukan firman-Nya ayat Al-Qur’an yang tercantum di atas Surat Abasa: 1 — 6.
Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril al-Amin ke dalam hati Rasulullah saw. sehubungan dengan peristiwa seorang laki-laki buta, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.
Sejak hari itu Rasulullah saw. tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi Laki-laki itu apabila dia datang. Beliau menyilakan duduk di tempat duduknya, beliau tanyakan keadaannya, dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakannya sedemikian rupa, bukankah teguran dari langit itu sangat keras!
Siapakah laki-laki itu, yang karenanya Nabi yang mulia mendapat teguran dari langit dan menyebabkan beliau sakit? Siapakah dia, yang karena peristiwanya Jibril al-Amin harus turun membisikkan wahyu Allah ke dalam hati Nabi yang mulia? Dia tidak lain adalah Abdullah bin Ummi Maktum, muazzin Rasulullah.
Abdullah Ummi Maktum, orang Mekah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasulullah saw., yakni anak paman ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid r.a. Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya Atikah binti Abdullah. Ibunya bergelar “ummi maktum”, karena anaknya, Abdullah, lahir dalam kedaan buta total.
Ketika cahaya Islam mulai memancar di Mekah, Allah melapangkan dada Abdullah bin Ummi Maktum menerima agama baru itu. Karena itu, tidak diragukan lagi dia termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam. Sebagai muslim kelompok pertama, Abdullah turut menanggung segala macam suka dan duka kaum muslimin di Mekah ketika itu. Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti yang diderita kawan-kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai macam tindak kekerasan lainnya. Tetapi, apakah karena tindak kekerasan itu lantas Ibnu Ummi Maktum menyerah? Tidak?! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan, dia semakin teguh berpegang pada agama Islam dan kitab Allah (Alquran). Dia semakin rajin mempelajari syariat Islam dan sering mendatangi majlis Rasulullah.
Begitu rajin dan rakusnya dia mendatangi majlis Rasulullah, menyimak dan menghafal Alquran, sehingga tiap waktu senggang selalu diisinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu direbutnya. Karena rewelnya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkan dari Rasulullah, disamping keuntungan bagi yang lain-lain juga.
Sabtu, 05 Juni 2010
IKHLASH
"Barang siapa (tujuan amalnya) hanya menghendaki kesenangan dan deindahan dunia, pasti Kami sempurnakan balasannya di dunia, sedikitpun tidak dikurangi. Itulah orang-orang yang tiada balasannya di akhirat, kecuali neraka, lenyaplah semua amal usahanya dan sia-sialah pekerjaannya". (Hud 15-16)
Al Kisah seorang Ulama pergi ke Madinah, dia bertemu dengan Abu Huraerah berada di tengah-tengah kumpulan orang, kemudian dia bertanya kepadanya sesudah kumpulan orang itu bubar, katanya: "Aku minta (demi Allah) anda menceritakan hadits dari Nabi saw. Jawabnya: "Silahkan duduk baik-baik, dengarkanlah hadits yang aku menmperolehnya langsung dari Rasul saw. dan tiada seorangpun bersama kami, lalu bernafas panjang dan pingsanlah ia, kemudian sadar, seraya mengusap wajahnya ia berkata: "dengarkanlah hadits yang aku perolehnya langsung dari
Rasul saw. demikian itu diulang sampai tiga kali, setelah pingsan tiga kali juga, akhirnya ia berkata: "Rasul saw. bersabda: Ketika saatnya tiba Hari Kiamat, Allah memutuskan semua urusan makhluk-Nya, setiapnya tinduk kepada-Nya, yang pertama dipanggil ialah Pembaca Al-Qur'an, lalu ditanyakan kepadanya: "Kamu telah mempelajari apa yang diwahyukan kepada utusanKu? Jawabnya: Ya Tuhan, lalu apa yang kau amalkan di dalamnya? Aku membacanya di malam ataupun siang hari". Kemudian Allah dan para Malaikat-Nya menyanggahnya: "Kamu telah berbohong, karena semua itu sudah terlaksana di dunia".
Yang kedua adalah Hartawan, lalu ditanyakan kepadanya: Harta yang Aku berikan kepadamu, kau buat apa saja? Jawabnya: Kubelanjakan demi menyambung hubungan sanak famili, dan disedekahkan. Lalu disanggah oleh Allah dan para malaikat-Nya: Kamu bohong, karena semua itu kau lakukan, agar kamu disebut dermawan, dan itu sudah terlaksana.
Yang ketiga ialah, orang mati sabil (syahid), lalu ditanyakan kepadanya: Kenapa kamu terbunuh? Jawabnya: berperang fi sabilillah, lalu disanggah oleh Allah dan para malaikat-Nya: Kamu bohong, karena tujuanmu hanya supaya kamu disebut pahlawan yang gagah berani, dan hal semacam itu sudah terlaksana di dunia.
Kata Abu Hurairah : Lalu Rasululloh saw. menepuk lututku seraya bersabda: "Hai Abu Hurairah, ketiga macam manusia itulah yang paling awal disiksa di neraka". Dan ketika Muawiyah mendengarnya, langsung menangis dan berkata: "Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya...."
Yang ketiga ialah, orang mati sabil (syahid), lalu ditanyakan kepadanya: Kenapa kamu terbunuh? Jawabnya: berperang fi sabilillah, lalu disanggah oleh Allah dan para malaikat-Nya: Kamu bohong, karena tujuanmu hanya supaya kamu disebut pahlawan yang gagah berani, dan hal semacam itu sudah terlaksana di dunia.
Kata Abu Hurairah : Lalu Rasululloh saw. menepuk lututku seraya bersabda: "Hai Abu Hurairah, ketiga macam manusia itulah yang paling awal disiksa di neraka". Dan ketika Muawiyah mendengarnya, langsung menangis dan berkata: "Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya...."
Sabtu, 22 Mei 2010
SIKSA KUBUR DAN PENDERITAANNYA
Abu Laits As-Samarqandy dengan sanadnya dari Barrak ‘Azib katanya : Kami bersama Rasululloh SAW. Mengiringi mayit shahabat Ansar, setelah sampai di kubur beliau duduk dan kamipun duduk di sekitarnya diam. Sepertinya ada burung di atas kepala kami, kemudian beliau mengangkat kepala seraya bersabda: “Bahwasanya orang mukmin ketika akan mati, didatangi malaikat yang wajahnya putih seperti matahari, mereka duduk didepanya sambil memegang kafan sorga, tidak lama kemudian datang pula malaikat maut duduk di sebelahnya, menyeru kepadanya:
“Hai jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan dan keridlaan Allah (kata Nabi saw.) lalu rohnya mengalir keluar seperti tetesan air, ia diterima dan dimasukkan kafan, kemudian dibawa keluar baunya harum seperti minyak kasturi, selanjutnya dibawa naik. Setiap melewati kumpulan para Malaikat, mereka bertanya: “Ruh siapakah yang harum itu? Dijawab, ruhnya fulan bin fulan, demikian itu hingga ke langit, penghuninya menyambut baik kedatangan ruh tersebut. Setiap menaiki jenjangnya malaikatul Muqarabin mengantarnya hingga langit ke tujuh, Allah berfirman: “Tulislah ketentuannya di sorga ‘Illiyyin”. Lalu dikembalikan ke bumi, karena dari sanalah Kami ciptakan, dan ke dalamnya Kami pulangkan, pada saatnya akan Kami bangkitkan. Maka bergabung lagi ruh tersebut dengan jasadnya di dalam kubur, tidak lama kemudian datanglah malaikat (Malaikat Nakir) seraya bertanya: “Siapa Tujanmu? Jawabnya Allah Tuhanku, Apa agamamu? Jawabnya: “Islam agamaku, Bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang diutus di tengah-tengah kamu? Jawabnya: “Beliau utusan Allah, iman kepadanya dan membenarkannya. Maka datanglah panggilan: “Betul hambaku, berikan kepadanya hamparan dan pakaian sorga, dan bukakan pintu yang menuju sorga, agar bau dan hawanya ia nikmati, lapangkan kuburnya sejauh mata memandang, lalu datanglah seorang bagus/tampan dan harum baunya seraya berkata: “Terimalah kabar gembira yang dulu dijanjikan Tuhan”, (Mayit) bertanya: “Siapa sebenarnya kamu ini? Jawabnya: “Aku ini adalah (jelmaan) amalmu yang baik dulu”. Kemudian bertanya: “Ya Allah, segerakan hari Kiamat, agar aku dengan cepat dapat berkumpul bersama-sama keluarga dan sahabat-sahabatku”.
Selanjutnya Nabi saw, besabda:
Adapun orang kafir, ketika akan mati, didatangi malaikat yang hitam mukanya, mereka duduk di depannya, tidak lama kemudian datang pula malaikat maut duduk di sebelahnya, katanya: “Hai ruh jahat, keluarlah menuju kemarahan Allah, tersebarlah ke semua anggota tubuhnya, lalu ruh dicabut, seperti mencabut besi dari bulu basah, urat dan ototnya putus-putus, ia diterima dan dimasukkan kain hitam, dibawa keluar, baunya basin bangkai, lalu dibawa naik. Setiap melewati kumpulan malaikat mereka bertanya: Ruh jahat siapakah yang basin itu? Jawabnya, dengan sebutan yang sangat jelek: Ruh fulan bin fulan, hingga terdengar ke langit, akan masuk tapi pintu tidak dibukakan, (lalu Nabi membaca ayat)
Lalu perintah Allah: “Tulislah ketentuannya di Sijjin, terlemparlah ruh itu, Firman Allah :
Kemudian ruh melekat lagi ke tubuhnya di dalam kubur, tidak lama lagi datang Malaikat (Munkar-Nakir) memegangnya dan menggertak: “Siapa Tuhanmu? Jawabnya: Aku tidak kenal, Apa Agamamu? Aku belum mengenalnya. Bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang diutus di tengah hidupmu? Itupun aku tidak kenal. Maka datanglah seruan keras: “Dusta dia, hamparkan dan bukakan pintu neraka baginya, lalu terasalah hawa panasnya, kubur menghimpit dan hancurlah tulang rusuknya, tidak lama kemudian datang seorang yang bermuka buruk, basin baunya, seraya menggertak: “Sambutlah hari buruk bagimu, saat yang dulu kamu membantahnya ketika diperingatkan, ditanyalah kepadanya “Siapakah kamu ini? Jawabnya: “Aku adalah laku jahatmu”, katanya, Ya Tuhan, tunda dulu hari Kiamat, jangan keburu hari kiamat”.
Selanjutnya Nabi saw, besabda:
Adapun orang kafir, ketika akan mati, didatangi malaikat yang hitam mukanya, mereka duduk di depannya, tidak lama kemudian datang pula malaikat maut duduk di sebelahnya, katanya: “Hai ruh jahat, keluarlah menuju kemarahan Allah, tersebarlah ke semua anggota tubuhnya, lalu ruh dicabut, seperti mencabut besi dari bulu basah, urat dan ototnya putus-putus, ia diterima dan dimasukkan kain hitam, dibawa keluar, baunya basin bangkai, lalu dibawa naik. Setiap melewati kumpulan malaikat mereka bertanya: Ruh jahat siapakah yang basin itu? Jawabnya, dengan sebutan yang sangat jelek: Ruh fulan bin fulan, hingga terdengar ke langit, akan masuk tapi pintu tidak dibukakan, (lalu Nabi membaca ayat)
“…….sekali-kali tidak akan dibukakan pintu-pintu langit buat mereka, dan tidak dapat masuk sorga (kecuali jika ada) onta bisa masuk kepada lobang jarum (hal ini tidak mungkin). Demikian balasan orang-orang yang dhalim”. (Al-Araf : 40)
Lalu perintah Allah: “Tulislah ketentuannya di Sijjin, terlemparlah ruh itu, Firman Allah :
“Barang siapa menyekutukan Allah, tidak bedanya seperti terjun dari langit lalu disambar burung besar, atau dibanting angin ke jurang curam sejauhnya”. (Al-Hajj 31)
Kemudian ruh melekat lagi ke tubuhnya di dalam kubur, tidak lama lagi datang Malaikat (Munkar-Nakir) memegangnya dan menggertak: “Siapa Tuhanmu? Jawabnya: Aku tidak kenal, Apa Agamamu? Aku belum mengenalnya. Bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang diutus di tengah hidupmu? Itupun aku tidak kenal. Maka datanglah seruan keras: “Dusta dia, hamparkan dan bukakan pintu neraka baginya, lalu terasalah hawa panasnya, kubur menghimpit dan hancurlah tulang rusuknya, tidak lama kemudian datang seorang yang bermuka buruk, basin baunya, seraya menggertak: “Sambutlah hari buruk bagimu, saat yang dulu kamu membantahnya ketika diperingatkan, ditanyalah kepadanya “Siapakah kamu ini? Jawabnya: “Aku adalah laku jahatmu”, katanya, Ya Tuhan, tunda dulu hari Kiamat, jangan keburu hari kiamat”.
Senin, 17 Mei 2010
TEORI CERMIN IMAM GHOZALI
Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau lahiriah belaka?
Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya
Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya
Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga kemungkinan.
Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah). Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah, puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikirmerupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-harimereka.
Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi sebagai berikut:
"Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang. Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. " (Riwayat Bukhari dan Abi Hurairah)
Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan memperoleh ridha Allah.
Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalamkaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).
Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh penggeledahan dan interogasi diri:
sumber dari http://soni69.tripod.com/
- Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor dan aniaya.
- Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya.
- Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan Tuhan.
Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah). Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah, puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikirmerupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-harimereka.
Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi sebagai berikut:
"Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang. Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. " (Riwayat Bukhari dan Abi Hurairah)
Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan memperoleh ridha Allah.
Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalamkaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).
Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh penggeledahan dan interogasi diri:
Apakah ibadah yang kita lakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karena yang lain?
sumber dari http://soni69.tripod.com/
Kamis, 18 Maret 2010
Jangan Marah, Bagi Surga
Saudaraku…, sesungguhnya, mengendalikan amarah adalah salah satu keutamaan akhlak. Ketauhilah bahwa Allah itu menyukai kelembutan, sedangkan marah identik dengan sikap kasar dan emosional.
Sesungguhnya kemarahaan yang tidak terkendali bisa berakibat buruk dan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu ketika diminta nasihat atau wasiat oleh salah seorang sahabatnya, beliau memberikan wasiat untuk tidak marah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah engkau marah. ”Kemudian beliau mengulangi perkataannya beberapa kali, dan bersabda, ”Janganlah engkau marah.” (Riwayat Bukhari)
Diriwayatkan dalam Al-Musnad dari hadist Ibnu Umar, beliau juga pernah bertanya kepada Nabi SAW, ”Apakah yang dapat menjauhkan diriku dari murka Allah?”Janganlah engkau marah.” seorang sahabat bertanya, ”Lalu aku berpikir,dan pada akhirnya aku mendapatkan bahwa kemarahan pusat dari kejahatan.”
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Janganlah engkau marah.”Kemudian beliau mengulangi perkataannya beberapa kali,dan bersabda,”Janganlah engkau marah.”(Riwayat Bukhari)
Diriwayatkan dalam Al-Musnad dari hadist Ibnu Umar, beliau juga pernah bertanya kepada Nabi SAW, ”Apakah yang dapat menjauhkan diriku dari murka Allah? ”Janganlah engkau marah.” seorang sahabat bertanya, ”Lalu aku berpikir, dan pada akhirnya aku mendapatkan bahwa kemarahan pusat dari kejahatan.”
Jadi wahai saudaraku, hadist ini menjelaskan bahwa kekuatan hakiki tidak terletak pada kekuatan otot dan kekuatan badan, namun pada kekuatannya dalam menguasai diri, khususnya dalam mengendalikan marah. Secara tersirat, hadist ini menjelaskan tentang keutamaan bersikap lemah lembut.
MENAHAN AMARAH TANDA ORANG BERTAQWA
Allah juga memuji orang-orang yang suka memberi maaf apabila mereka marah.
“Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf.” (Asy-Syura:37)
Karena itulah Saudaraku, engkau sebagai anak shalih, juga harus bisa menahan amarahmu dan suka memaafkan. Kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Penghinaan tidak harus dibalas dengan penghinaan. Bukan dahulu ketika Rasulullah SAW memulai dakwahnya, beliau juga dihina dan dihujat oleh kaumnya? Namun Rasulullah SAW tetap bersabar, dan ketika islam sudah mengalami kejayaan, beliau pun tidak membalas penghnaan kaumnya yang dulu menghinanya.
CARA MENGHILANGKAN MARAH
Bagaimana cara menghilangkanmarah? Rosulullah memberi beberapa resep yang bisa kita amalkan.
“Janganlah engkau marah.”Kemudian beliau mengulangi perkataannya beberapa kali,dan bersabda,”Janganlah engkau marah.”(Riwayat Bukhari)
Diriwayatkan dalam Al-Musnad dari hadist Ibnu Umar, beliau juga pernah bertanya kepada Nabi SAW, ”Apakah yang dapat menjauhkan diriku dari murka Allah? ”Janganlah engkau marah.” seorang sahabat bertanya, ”Lalu aku berpikir, dan pada akhirnya aku mendapatkan bahwa kemarahan pusat dari kejahatan.”
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Tidaklah kekuatan itu dinilai dengan adu kekuatan (gulat). namun yang kuat itu adalah orang yang dapat menguasai dirinya tatkala marah.” (Muttapaq Alaih)
“Tidaklah kekuatan itu dinilai dengan adu kekuatan (gulat). namun yang kuat itu adalah orang yang dapat menguasai dirinya tatkala marah.” (Muttapaq Alaih)
Jadi wahai saudaraku, hadist ini menjelaskan bahwa kekuatan hakiki tidak terletak pada kekuatan otot dan kekuatan badan, namun pada kekuatannya dalam menguasai diri, khususnya dalam mengendalikan marah. Secara tersirat, hadist ini menjelaskan tentang keutamaan bersikap lemah lembut.
MENAHAN AMARAH TANDA ORANG BERTAQWA
Saudaraku…., sesungguhnya Allah menjanjikan ampunan dan surga kepada orang –orang yang bertaqwa. Siapakah orang yang bertaqwa itu? Yaitu mereka yang melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Termasuk mereka yang suka menahan marah.
Allah berfirman:
“Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Tuhanmu, dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langi dan bumi yang disediakan bagi orang –orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amrahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali Imran:133-134)
Allah berfirman:
“Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Tuhanmu, dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langi dan bumi yang disediakan bagi orang –orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amrahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali Imran:133-134)
Allah juga memuji orang-orang yang suka memberi maaf apabila mereka marah.
“Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf.” (Asy-Syura:37)
Karena itulah Saudaraku, engkau sebagai anak shalih, juga harus bisa menahan amarahmu dan suka memaafkan. Kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Penghinaan tidak harus dibalas dengan penghinaan. Bukan dahulu ketika Rasulullah SAW memulai dakwahnya, beliau juga dihina dan dihujat oleh kaumnya? Namun Rasulullah SAW tetap bersabar, dan ketika islam sudah mengalami kejayaan, beliau pun tidak membalas penghnaan kaumnya yang dulu menghinanya.
CARA MENGHILANGKAN MARAH
Bagaimana cara menghilangkanmarah? Rosulullah memberi beberapa resep yang bisa kita amalkan.
Pertama, bila engkau marah, bacalah ta`awudz (a`udzubillaahiminasysyaithaanirrajiim). Karena, pada hakikatnya persaan marah adalah dorongan setan, dan kita diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari godaan setan. Hal ini dinyatakan dalam hadits berikut, Dua orang saling mengejek di dekat Nabi, lalu salah seorang darinya marah. Nabi nmemandang kepadanya dan berkata, ”Sungguh aku ingin mengajari suatu ucapan yang seandainya ia ucapkan tentu hal itu (kemarahannya) akan hilang darinya Yaitu aku berlindung kepada Allah dari yang terkutuk.” Lalu seorang mendengar (perkataan) Nabi tersebut berdiri menghadap orang tersebut dan berkata, ”Apakah kamu mengerti pertanyaan Rasulullah tadi?” ia menjawab, ”Apakah kamu pandang ini saya gila?”(Riwayat Muslim)
Kedua, bila engkau marah, maka berusalah untuk diam atau tidak banyak berbicara, sebagaimana sabda Nabi, ”Apabila salah seorang di antarakamu marah, maka diamlah.” (Riwayat Ahmad)
ketiga, bila engkau marah dalam keadaan berdiri maka duduklah. Bila duduk masih marah, maka berbaringlah. Karena Nabi bersabda, ”maka apabila salah seorang diantaramu marah dalam keadaan berdiri duduklah, dan apabila keadaan duduk masih marah berbaringlah.”(Riwayat Abu Daud)
Keempat, bila ketiga upaya di atas belum membuahkan hasil, maka berwudhulah, sebagaimana sabda Nabi, ”Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan terbuat dari api dan api hanya bisa dipadamkan oleh air. Oleh karena itu, apabila seorang diantaramu marah, maka berwudhulah.”(Riwayat Abu Daud)
Demikianlah Saudaraku, Bimbingan Rasulullah untuk mengendalikan amarah. Dengan menahan amarah, semoga kita mendapatkan Ridlo-Nya. Amiin.
Jumat, 29 Januari 2010
Mahar Wanita Suci
“Orang yang tidak bisa mengendalikan syahwatnya, tidak akan bisa memiliki akalnya”.
Setelah suaminya wafat, Rabi’ah Al-Adawiyah menjadi pusat perhatian hampir setiap laki-laki yang ada di sekitarnya. Tidak sedikit dari mereka yang terpaut hati kepadanya sebab janda yang agung ini bukan hanya cantik secara fisik, melainkan dia juga wanita ideal secara religius. Al-‘Adawiyah adalah wanita sufi yang sangat masyhur pada zamannya. Dalam menempuh perjalanan rohani, dia telah meninggalkan tidak sedikit pesuluk-pesuluk lawan jenisnya. Dalam kondisi umat yang sangat amoral ketika itu, Al-‘Adawiyah muncul sebagai tokoh sufi yang banyak menyelamatkan umat zamannya dari kejatuhan. Karena itu, namanya terukir indah di setiap hati orang-orang beriman, dan ia menjadi “mitra” sufi tokoh-tokoh seperti Hasan Bashri dan Malik bin Dinar.
Keberadaan Al-‘Adawiyah sebagai janda mengusik hati sejumlah orang yang mengenalnya. Tidak terkecuali sufi besar zamannya, seperti Hasan Bashri, Malik bin Dinar dan Thabit Al-Banna-i,. Mereka ingin meminangnya, karena tidak baik bagi seorang wanita janda sendirian tanpa pendamping yang syar’i, pikir mereka. Namun, mereka berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar apabila ingin menyunting Al-‘Adawiyah ini, apakah dirinya akan kufu’ (sepandan secara syari’at) atau tidak sekufu’?
Suatu hari tiga tokoh sufi, Hasan Bashri, Malik bin Dinar, dan Thabit Al-Banna-i sepakat akan bertandang ke rumah Al-‘Adawiyah. Mereka telah berencana untuk melamarnya sebagai istri. Terserah pada Al-‘Adawiyah siapa yang dianggapnya laik untuk menjadi pendampingnya.
“Wahai Rabi’ah, nikah adalah sunnah Nabi saw.,” kata mereka kepada Al-‘Adawiyah. “Dengannya maka sebagian dari agama kita akan terpelihara. Anda adalah orang arif yang tidak laik hidup seorang diri setelah kematian sang suami. Karena itu, pilihlah salah seorang di antara kami sebagai pasangan Anda.”
“Aku mempunyai sejumlah pertanyaan yang apabila salah seorang di antara kalian bisa menjawabnya, aku akan bersedia manjadi istrinya,” tantang Al-‘Adawiyah.
“Saya akan bersedia menjawabnya, insya Allah,” jawab Hasan Bashri.
“Wahai Hasan!” kata Al-‘Adawiyah memulai pertanyaannya. “Ketika kita masih berada di alam miqhat, (alam tempat seluruh manusia memberikan ikrar dan janji setianya kepada Allah swt. (lihat Q.S. 7:172) dan ketika Allah berfirman, si Polan akan berakhir di surga tanpa akau peduli; termasuk dalam golongan mana aku ditentukan oleh Allah wahai Hasan?”
“Aku tidak tahu, “jawab Hasan.
“Ketika malaikat membentukku dalam rahim ibuku, apakah waktu itu aku tercatat sebagai orang yang beruntung atau yang dimurkai oleh Allah?” tanya Al-‘Adawiyah lagi.
“Aku tidak tahu, wahai ‘Adawiyah“ jawab Hasan.
“Kelak pada hari kiamat ketika Allah menyetakan kepada sekelompok orang “jangan kalian khawatir dan bimbang”, dan kepada kelompok lain Allah berkata “celakalah kalian.....”, di kelompok mana aku akan digolongkan pada waktu itu?”
“Demi Allah, aku tidak tahu,” jawab Hasan sambil menunduk.
“Kelak kuburan seseorang akan berupa taman surga atau mungkin berupa liang api neraka. Bagaimana rupa kuburanku kelak wahai Hasan?”
“Demi Allah, aku tidak tahu wahai Rabi’ah.”
“Kelak malaikat Munkar dan Nakir akan menanyakan di alam kubur, apakah aku akan bisa menjawabnya?”
“Ini adalah perkara gaib dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya,” jawab Hasan.
“Ketika semua manusia dibangkitkan dan buku-buku catatan mereka dibagikan, ada yang akan menyeambut bukunya dengan tangan kannya dan berakhir dengan keselamatan, ada juga yang akan menyambut bukunya dengan tangan kirinya dan berakhir dengan kemalangan. “Wahai Hasan, dalam kelompok mana aku berada pada saat itu?”
“Demi Allah, aku tidak tahu wahai Rabi’ah.”
“Kelak pada hari akhirat ada sekelompok orang yang berwajah putih dan ada sekelompok lain yang berwajah hitam. Wahai Hasan, di kelompok mana aku akan berada saat itu?” tanya Rabi’ah dengan sungguh-sungguh.
“Sekali lagi aku tidak tahu wahai Rabi’ah,” jawab Hasan.
“Ketika kelak ada sebagian manusia yang dipanggil ke surga dan sebagian yang lainnnya dipanggil ke neraka, dalam kelompok mana aku akan tergolong pada saat itu waha Hasan?”
“Aku tidak tahu hai Rabi’ah,”Jawab Hasan.
“Wahai Hasan, ketika aku sendiri masih belum bisa menjawabnya dan masih berduka panjang karenanya, lalu bagaimana mungkin diri ini akan terpikir dengan urusan nikah. Wahai Hasan, beritahu aku berapa bagian Allah telah ciptakan akal?”
“Sepuluh bagian, sembilan untuk laki-laki dan satu untuk perempuan,” jawab Hasan.
“Berapa bagian Allah telah ciptakan syahwat?”
“Sepuluh bagian juga, sembilan untuk perempuan dan satu untuk laki-laki,” jawab Hasan dengan yakin.
“Wahai Hasan, aku mampu memelihara sembilan bagian dari syahwat dengan satu bagian dari akal sementara kau tak mampu memelihara satu bagian dari syahwat dengan sembilan bagian dari akal,” kata Rabi’ah Al-‘Adawiyah mengakhiri.
Rabu, 20 Januari 2010
Mencari Ajal
Apabila seseorang mati, manusia sekitarnya akan bertanya: apa yang ditinggalkannya? Tapi para malaikat akan bertanya: apa yang dibawanya?. Demi Alloh, keluarkanlah sebagian (dari harta kalian), kelak ia kan menjadi bekal bagi kalian, dan jangan ditinggalkan seluruhnya, kelak ia akan menjadi beban bagi kalian.(Imam ali bin Abithalib)
“Mengapa sebagian orang Muslim itu takut mati?” tanya salah seorang dari murid Imam Muhammad bin Ali yang dikenal dengan Al-Jawad.
“Karena mereka tidak tahu apa itu mati,” jawab sang Imam. “Apabila mereka tahu dam benar-benar sebagai kekasih Allah, niscaya mereka akan menyukainya. Karena setiap kekasih Allah akan mencari kekasihnya dan bagi kekasih Allah kehidupan di akhira adalah lebih baik ketimbang kehidupan di dunia.”
Imam Jawad yang sering berbicara dengan kata-kata hikmat ini adalah putra Imam Ali Redha r.a. ayah dianggap oleh sebagian tarikat sufi, Thariqat Naqsyabandiah misalnya, sebagai salah seorang dari Imam besar rohani yang hidup pada abad kedua Hijriah. Imam Jawad sendiri adalah seorang Imam suci yang menghirup ilmu-ilmu makrifat langsung dari ayahnya. Ayah memperoleh semua itu dari para leluhurnya yang terus bersambung sampai kepada datuknya yang tertinggi, yakni Rasululloh saw. Kendati demikian, Imam Jawad kadang-kadang berupaya menyederhanakan masalah-masalah yang rumit kepada para muridnya sehingga mereka mudah memahaminya.
“Coba Anda perhatikan anak-anak kecil dan orang-orang yang tak waras. Bukankah mereka tidak suka makan obat padahal obat sangat berguna untuk menyembuhkan penyakit mereka atau menghilangkan derita-derita mereka,” sambung Imam Jawad. “Itu semata-mata karena mereka tidak tahu manfaat obat tersebut. Demikianlah orang yang takut mati. Karena tidak tahu apa itu mati, mereka menyimpan rasa khawatir kepada.”
“Wahai teman-teman!” sambung sang Imam. “Demi Dzat yang telah mengutus Muhammad sebagai Rasul! Orang yang siap menghadapi mati, kapan pun dan dimana pun juga adalah orang yang telah siap dengan bekal yang cukup. Persiapannya itu jauh lebih bermanfaat dari obat yang sangat mujarab bagi seorang pasien yang sakit. Sungguh apabila mereka tahu besarnya nikmat yang akan mereka peroleh setelah kematian, niscaya mereka akan mencarinya dan mencintainya lebih dari usaha seorang pesakit yang mencari obat untuk kesembuhannnya.”
Ajal atau maut memang sebuah misteri yang sangat menakutkan sebagian orang. Betapa tidak, ia pasti akan datang menjemput, cepat atau lambat, di mana saja dan kapan saja. Ia adalah suatu kemestian yang tak dapat di tawar-tawar. Apabila saatnya tiba, tidak seorang pun yang akan bisa meminta untuk menundanya; atau apabila saatnya belum tiba, tidak seorang pun yang akan bisa meminta untuk disegerakan menjemputnya. Orang yang merasa sudah sangat jemu dengan kehidupan dunia lantaran penderitaan yang terlalu banyak atau problema-problema yang tak terselesaikan tidak akan bisa menghardik ajal apabila tiba-tiba ia datang ke hadapannya. Karena itu, ia adlah sebuah misteri yang tidak akan bisa dipahami sampai kapan pun.
Ada dua kategori maut kata Ibnu ‘Arabi. Pertama, adalah al-Maut al-Idhthirari, mati secara terpaksa’ mati yang tidak dikehendaki oleh tuannya. Meskipun ia tahu bahwa dia tidak dapat mengelak. Mati jenis ini adalah suatu kemestian yang tak dapat ditunda. Bukan hanya manusia, juga seluruh benda hidup yang ada di atas dunia yang fana ini. Kedua, adalah Al-Maut Al-Ihktiyari, mati secara rela, yakni tuannya dengan hati yang rela menyambut kedatangan malaikat maut yang akan menjemputnya.
Kelompok kedua ini adalah kelompok manusia yang mencari ajal, bukan yang dicari oleh ajal. Dia melihat bahwa mati bukan sebagai derita, tetapi sebagai pertemuan antara dua kekasih. Kekasih yang nisbi ingin berjumpa dengan Kekasih Yang Mahamutlak. Untuk berjumpa dengan Yang Mahamutlak, dia siap menempuh apa pun jalan yang mungkin bisa mengantarkannya, kendatipun penuh liku-liku dan kendala-kendala yang besar. Apabila kita mendengar ada sekelompok manusia yang berani mati demi tegaknya agama Allah, itu sebenarnya sebuah isyarat bahwa ia memilih Al-Maut Al-Ikhtiyari. Karena baginya kepentingan Sang Kekasih di atas segala kepentingannya. Kepada kelompok ini Allah memanggil mereka dengan sebutan al-Nafs al-Muthmainah, jiwa-jiwa yang damai. Allah swt. Berfirman dalam kitab suci Alqur’an, “Wahai jiwa-jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai…..” (89:28)
Bagi orang bertipe ini, maut baginya adalah sebuah nikmat. Dan karena ia adalah nikmat, maka secara sadar dia mencarinya dan mendambakan kehadirannya.
Langganan:
Postingan (Atom)