Sabtu, 22 Mei 2010

SIKSA KUBUR DAN PENDERITAANNYA

Abu Laits As-Samarqandy dengan sanadnya dari Barrak ‘Azib katanya : Kami bersama Rasululloh SAW. Mengiringi mayit shahabat Ansar, setelah sampai di kubur beliau duduk dan kamipun duduk di sekitarnya diam. Sepertinya ada burung di atas kepala kami, kemudian beliau mengangkat kepala seraya bersabda: “Bahwasanya orang mukmin ketika akan mati, didatangi malaikat yang wajahnya putih seperti matahari, mereka duduk didepanya sambil memegang kafan sorga, tidak lama kemudian datang pula malaikat maut duduk di sebelahnya, menyeru kepadanya:
“Hai jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan dan keridlaan Allah (kata Nabi saw.) lalu rohnya mengalir keluar seperti tetesan air, ia diterima dan dimasukkan kafan, kemudian dibawa keluar baunya harum seperti minyak kasturi, selanjutnya dibawa naik. Setiap melewati kumpulan para Malaikat, mereka bertanya: “Ruh siapakah yang harum itu? Dijawab, ruhnya fulan bin fulan, demikian itu hingga ke langit, penghuninya menyambut baik kedatangan ruh tersebut. Setiap menaiki jenjangnya malaikatul Muqarabin mengantarnya hingga langit ke tujuh, Allah berfirman: “Tulislah ketentuannya di sorga ‘Illiyyin”. Lalu dikembalikan ke bumi, karena dari sanalah Kami ciptakan, dan ke dalamnya Kami pulangkan, pada saatnya akan Kami bangkitkan. Maka bergabung lagi ruh tersebut dengan jasadnya di dalam kubur, tidak lama kemudian datanglah malaikat (Malaikat Nakir) seraya bertanya: “Siapa Tujanmu? Jawabnya Allah Tuhanku, Apa agamamu? Jawabnya: “Islam agamaku, Bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang diutus di tengah-tengah kamu? Jawabnya: “Beliau utusan Allah, iman kepadanya dan membenarkannya. Maka datanglah panggilan: “Betul hambaku, berikan kepadanya hamparan dan pakaian sorga, dan bukakan pintu yang menuju sorga, agar bau dan hawanya ia nikmati, lapangkan kuburnya sejauh mata memandang, lalu datanglah seorang bagus/tampan dan harum baunya seraya berkata: “Terimalah kabar gembira yang dulu dijanjikan Tuhan”, (Mayit) bertanya: “Siapa sebenarnya kamu ini? Jawabnya: “Aku ini adalah (jelmaan) amalmu yang baik dulu”. Kemudian bertanya: “Ya Allah, segerakan hari Kiamat, agar aku dengan cepat dapat berkumpul bersama-sama keluarga dan sahabat-sahabatku”.

Selanjutnya Nabi saw, besabda:
Adapun orang kafir, ketika akan mati, didatangi malaikat yang hitam mukanya, mereka duduk di depannya, tidak lama kemudian datang pula malaikat maut duduk di sebelahnya, katanya: “Hai ruh jahat, keluarlah menuju kemarahan Allah, tersebarlah ke semua anggota tubuhnya, lalu ruh dicabut, seperti mencabut besi dari bulu basah, urat dan ototnya putus-putus, ia diterima dan dimasukkan kain hitam, dibawa keluar, baunya basin bangkai, lalu dibawa naik. Setiap melewati kumpulan malaikat mereka bertanya: Ruh jahat siapakah yang basin itu? Jawabnya, dengan sebutan yang sangat jelek: Ruh fulan bin fulan, hingga terdengar ke langit, akan masuk tapi pintu tidak dibukakan, (lalu Nabi membaca ayat)

“…….sekali-kali tidak akan dibukakan pintu-pintu langit buat mereka, dan tidak dapat masuk sorga (kecuali jika ada) onta bisa masuk kepada lobang jarum (hal ini tidak mungkin). Demikian balasan orang-orang yang dhalim”. (Al-Araf : 40)


Lalu perintah Allah: “Tulislah ketentuannya di Sijjin, terlemparlah ruh itu, Firman Allah :

“Barang siapa menyekutukan Allah, tidak bedanya seperti terjun dari langit lalu disambar burung besar, atau dibanting angin ke jurang curam sejauhnya”. (Al-Hajj 31)

Kemudian ruh melekat lagi ke tubuhnya di dalam kubur, tidak lama lagi datang Malaikat (Munkar-Nakir) memegangnya dan menggertak: “Siapa Tuhanmu? Jawabnya: Aku tidak kenal, Apa Agamamu? Aku belum mengenalnya. Bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang diutus di tengah hidupmu? Itupun aku tidak kenal. Maka datanglah seruan keras: “Dusta dia, hamparkan dan bukakan pintu neraka baginya, lalu terasalah hawa panasnya, kubur menghimpit dan hancurlah tulang rusuknya, tidak lama kemudian datang seorang yang bermuka buruk, basin baunya, seraya menggertak: “Sambutlah hari buruk bagimu, saat yang dulu kamu membantahnya ketika diperingatkan, ditanyalah kepadanya “Siapakah kamu ini? Jawabnya: “Aku adalah laku jahatmu”, katanya, Ya Tuhan, tunda dulu hari Kiamat, jangan keburu hari kiamat”.

Senin, 17 Mei 2010

TEORI CERMIN IMAM GHOZALI

Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau lahiriah belaka?

Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya

Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga kemungkinan.

  • Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor dan aniaya.
  • Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya.
  • Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan Tuhan.

Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah). Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah, puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikirmerupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-harimereka.

Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi sebagai berikut:

"Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang. Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. " (Riwayat Bukhari dan Abi Hurairah)

Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan memperoleh ridha Allah.

Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalamkaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).

Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh penggeledahan dan interogasi diri:
Apakah ibadah yang kita lakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karena yang lain?


sumber dari http://soni69.tripod.com/