Sabtu, 29 November 2008

Asal Mula Harta Karun


"Pada harta orang-orang kaya telah Allah wajibkan makanan kaum fakir miskin. Tiada seorang fakir lapar melainkan karena orang kaya yang menahan hartanya dan Allah akan betanya kepada mereka tentangnya."


Qarun bin Yashar bin Qahit bin Lawi bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim as adalah anak saudara Nabi Musa as. Pada mulanya dia adalah sahabat Musa yang cukup dekan dan arif dalam Ilmu Taurat, kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa as. Namun, dia juga sering munafik kepada Nabi Musa, persis halnya Samiri.

Qarun meskipun berteman dengan Musa, tetapi dia adalah salah seorang sahabat Fir’aun juga; sebagian riwayat menyatakan bahwa dia adalah tangan kanannya Fir’aun.

Ketika perintah zakat turun kepada Musa, Qarun yang mahakaya itu hanya mengeluarkan satu dari seribu kekayaannya saja, apabila yang dia miliki adalah seribu dinar atau seribu dirham, dia hanya mengeluarkan satu dinar atau satu dirham saja. Padahal kadar harta zakat yang ditentukan pada syariat Musa adalah 25% dari harta milik. Apalagi Qarun adalah seorang yang demikian kaya sehingga untuk mengangkat anak kunci peti-peti emasnya saja dibutuhkan sampai empat puluh atau enam puluh orang.

Suatu hari ketika Qarun melihat tumpukan emas dan perak dihadapannya, tiba-tiba rasa kikir dalam benaknya mulai mengganggunya. Dia berkata kepada orang-orang sekitarnya. “Wahai Bani Israil, Musa hanya ingin mengambil harta kalian. Karena itu, kita harus pikirkan bagaimana cara mengatasinya.”

“Engaku adalah pemuka bumi dan pemimpin kami. Segala keputusan berada di tanganmu waha Qarun. Kami sepenuhnya akan patuh dan ikut perintahmu,” sahut Bani Israil.

“Aku akan atur sebuah rencana,” kata Qarun bangga. “Panggilkan si Polan, wanita pelacur itu. Aku akan membayarnya sebesar seribu dinar dengan syarat bahwa dia akan mengaku dirinya dizinahi oleh Musa kelak di hadapan khalayak ramai dan sekarang hamil.”

Pada hari yang telah direncanakan itu, Qarun meminta Musa memberikan nasihat-nasihatnya. Katanya, “Wahai Musa, berilah kami sasihat-nasihatmu yang ringkas padat, dan bermakna.”

Musa berdiri dihadapan khalayak ramai dan mulai menasihati mereka. Antara lain Musa berkata, “Siapa yang mencuri kelak kami akan potong tangannya; siapa yang menuduh seseorang melakukan zina maka kami akan menderanya; dan siapa yang berzina sementara dia adalah laki-laki atau wanita yang muhsin, (yang telah mempunyai pasangan) maka kami akan merajamnya…”

“Walaupun engkau sendiri yang melakukannya?” Tanya Qarun kepada Musa.

“Ya, walaupun aku sendiri yang melakukannya,” jawab Musa.

Qarun tiba-tiba dihadapan public. Dengan suara lantang dia berteriak, “Wahai Musa, orang-orang ini berkata bahwa engkau telah berzina dengan si Polan wanita pelacur itu.”

“Panggil dia ke mari,” pinta Musa.

Wanita itu dibawa kehadapan Musa dengan tubuh yang sudah lunglai. Musa kemudian memintanya bersumpah, kemudian berkata, “Wahai Polan, demi Allah yang telah menciptakanmu, menciptakah laut dan yang menurunkan kitab Taurat. Kumohon agar kau berkata jujur dalam pengakuanmu.”

“Wahai Musa engaku bersih dari tuduhan Qarun dan orang-orangnya,” kata wanita ini yang secara tiba-tiba menghancurkan semua plot Qorun. “Qarun telah menyuapku seribu dinar agar aku menuduhmu melakukan perbuatan terkutuk itu. Demi Allah, aku takut kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Mendengar kata-kata wanita itu Musa menjatuhkan diri sujud kepada Allah swt. Sambil menangis. Katanya, “Ya Rabbi, apabila aku adalah Nabi-Mu yang sejati, tolonglah hamba ini.”

Allah kemudian mewahyukan kepada Musa bahwa seluruh dunia dan isinya akan tunduk di bawah penrintahnya. Karena itu, perintahkanlah, segera ia akan patuh.

Musa kemudia berkata kepada khalayak ramai bahwa mereka yang bersama Qarun agar tetap bersamanya; dan mereka yang bersama Musa agar minggir meninggalkan Qarun. Semua yang hadir meninggalkan Qarun kecuali dua orang. Kemudian Musa berkata, “Wahai bumi telanlah mereka.” Maka bumipun menelan mereka hingga ke batas lutut mereka. Musa kemudian berkata lagi, “Wahai bumi telanlah mereka.” Maka bumi menelan mereka hingga ke batas setengah badan. Mereka merintih meminta pertolongan kepada Musa, tetapi Musa berkata lagi kepada bumi dengan kata-kata yang serupa sehingga mereka ditelan oleh perut bumi secara keseluruhan.

Melihat apa yang terjadi di hadapan mata mereka, kaum Nabi Musa, Bani Islrail bergumam bahwa Musa melakukan semua itu semata-mata karena menginginkan harta dan kekayaan Qarun. Ketika Musa mendengar itu, dia bermohon kepada Allah agar semua harta dan kekayaan Qarun ditenggelamkan juga bersamanya.

“Maka kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (Q.S. 28;81)



Rabu, 26 November 2008

Tuntutan Sahabat pada Akhir Hayat Nabi


"Jadilah pamaaf ketika kau berkuasa, pemurah ketika kau susah, mengutamakan kepentingan orang lain ketika kau butuh, kelak kamu akan sempurnalah keutamaanmu."



Abdullah bin Abbas bercerita, “Menjelang wafatnya Nabi saw., diperintahkannya Bilal untuk mengumandangkan suara azan". Para sahabat datang berduyun-duyun ke mesjid Nabawi memenuhi aruan azan itu, meskipun waktu sholat belum tiba. Nabi masuk ke dalam mesjid dan melakukan dua rakaat shalat sunat. Kemudian, dia naik ke atas mimbar dan memulai khotbahnya yang panjang. Beliau ucapkan pujia-pujian kepada Allah Yang Maha Agung sehingga menggetarkan setiap hati yang mendengarnya dan memeras air mata orang yang mengikutiknya. Kemudian Beliau berkata : “Ayyuhal Muslimun, aku adalah Nabi utusan Allah, pemberi nasihat dan pembawa kebenaran kepada kalian. Kedudukan aku di antara kalian bagaikan seorang ayah yang sangat kasih kepada anak-anakmua. Apabila ada di antara kalian yang merasa pernah aku zalimi, kuharap dia mau menuntutnya dariku di dunia ini sebelum datangnya tuntutan yang amat dahsyat pada hari akhirat kelak”


Berulang kali Nabi mengucapkan kata-katanya itu, tetapi tidak ada suara yang mau menanggapinya. Siapa gerangan pengikut Muhammad yang akan merasa tega menuntut Nabi saw. Semua sahabat diam termanggu. Ada yang terisak-isak menangis menyaksikan ketulusan dan keadilan sang Pemimpin agung ini. Mereka tak dapat membayangkan betapa seorang pemimpin yang maha agung dan sudah berkorban segala-galanya demi umatnya, tiba-tiba pada akhir hayatnya dan dalah keadaan badan yang sudah lemah masih menegakkan keadilan seadil-adilnya hatta untuk dirinya sendiri.



Mendengar kata-kata ‘Akasyah seperti itu para sahabat yang duduk di sekitar Nabi merasa seakan disambar petir yang maha dasyat. Mereka pangling. Kerongkongan mereka tersumbat, tidak dapt berbicara. Jantung mereka berdebar keras seperti mau pecah. Suara tangis mereka saling bersahutan dengan suara tangis dinding-dindingmesjid Nabawi yang ikut menyaksikan peristiwa yang amat mendebarkan itu,

“Biarkan ‘Akasyah mengajukan tuntunannya padaku ,”kata Nabi menerangkan hadirin. “Aku lebih bahagia apabila aku bisa meninaikannya di dunia ini sebelum di dunia ini sebelum tibanya sebelum hari kiamat kelak. Wahai ‘Akasyah katakanlah apa yang telah kulakukan terhadap dirimu sehingga kau berhak membalasnya dariku.”

“Ya rasulullah, peristiwa itu terjadi pada ghazwah Badar.”kata’Akasyah mengenang. “Waktu itu untaku persis berada di samping untamu. Aku turun dari untaku karena ingin menghampirimu Tiba-tiba kau angkat kayu penyebat dan kayu mengenai bagian belakangku. Aku tidak tahu apakah kau lakukan itu dengan sengaja atau karna ingin menyebat untamu itu?”

“Wahai ‘Akasyah, Rosul Allah tidak akan mungkin melakukan perbuatan seperti itu dengan sengaja. Tetapi, bagaimnapun kau punya hak untuk membalasnya, “jawab Rasulullah. “Wahai Bilal, pergilah ke rumah Fatimah putriku dan ambil kayu itu di sana,” kata Rasulullah melanjutkan.

Bilal keluar dari mesjid sambil menarik napasnya pajang-panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya kepada putri kesayangan Nabi saw. Fatimah pasti akan merasa terkejut sekali apabila diketahuinya bahwa ayah dituntut oleh salah seorang sahabatnya. Bukan menuntut harta, melainkan menuntut qishas dengan membalas sebatan Nabi pada punggungnya. Itu pun pada saat-saat akhir hayatnya dan dalam keadaan badan Nabi yang sering sakit-sakitan.

“Wahai Fatimah putri Penghulu alam semesta,” kata Bilal setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam kepada Fatimah. “Nabi meminta sebatang kayu yang dahulunya sering digunakannya untuk menyebat untanya.”

“Untuk apa hai Bilal?” tanya Fatimah ingin tahu.
“Nabi hendak memberikan kayu itu kepada seseorang yang mau mengqishasnya (membalasnya),” jawab Bilal.
“Wahai Bilal, apakah ada orang yang tega memukul Nabi dengan kayu itu?”

Tanpa perlu menjawab, Bilal meninggalkan rumah Fatimah sambil membawa kayu itu. Sesambpainya di mesjid, Bilal memberikan kayu itu kepada Rasululloh yang kemudian memberikannya lagi kepada ‘Akasyah. Abu Bakar dan Umar menyaksikan keajian itu dengan penuh keharuan. Mereka berkata, “Wahai ‘Akasyah, kami mau menjadi tebusan Nabi saw. Balaslah kami asal kau jangan balas jasad Nabi saw.”

“Biarkanlah ‘Akasyah wahai Abu Bakar dan Umar. Sungguh Allah Mahatahu akan kedudukan kalian,” kata Nabi meyakinkan dua sahabat ini.

“Wahai ‘Akasyah jiwa ini adalah tebusannya Nabi saw. Hatiku tidak dapat menerima apa yang akan kaulakukan terhadap Nabi yang mulia. Ini punggungku dan tubuhku. Pukullah aku dengan tanganmu dan sebatlah aku dengan segala kekuatanmu,” kata Ali pilu.
“Tidak hai Ali,” kata Nabi. “Sungguh Allah Mahatahu akan niat dan kedudukanmu.”

Hasan dan Husein, dua cucu Nabi yang sangat disayanginya kemudian berdiri dan berkata dengan suara yang lirih, “Wahai ‘Akasyah, bukankah kautahu bahwa kami adalah cucu Rasululloh saw, darah dagingnya dan cahaya matanya. Mengambil qishas dari kami adalah sama dengan mengambil qishas dari Rasululloh.”

“Tidak hai Hasan dan Husein. Kalian adalah cahaya mata hatiku. Biarkanlah ‘Akasyah melakukan apa yang ingin dilakukannya,” kata Nabi.

“Wahai ‘Akasyah, pukullah aku apabila benar bahwa aku pernah memukulmu,” pinta Rasululloh kepada ‘Akasyah.

“Tapi ya Rasululloh, waktu kaupukul aku, saat itu aku tengah tidak memakai baju,” jawab ‘Akasyah.

Nabi membuka bajunya dan menelungkup siap untuk diambil qishas dari ‘Akasyah. Para sahabat menangis histeris menyaksikan kejadian itu. Tiba-tiba ‘Akasyah membuang kayu yang digenggamnya, lalu memeluk dan menempelkan tubuhnya pada tubuh Rasululloh saw.

Katanya, “Wahai junjungaku Rasululloh, jiwa ini adalah tebusanmu, hati siapa yang tega mengambil qishas darimu. Aku lakukan ini semata-mata berharap badan ini bisa bersentuhan dengan badanmu yang mulia. Denganmu kuharap Allah akan bisa memelihara dari sentuhan api neraka.”

Nabi kemudian bersabda, “Ketahuilah bahwa siapa yang ingin melihat penghuni surga maka lihatlah orang ini.”



Doa yang Menenggelamkan Surga Dunia


"Sungguh doa orang teraniaya akan di ijabah di sisi Allah karena dia meminta haknya dan Allah lebih bijak dari (harus) menahan hak pemiliknya”


Ada tiga nama yang disebut dalam Alqur’an sebagai sumber keonaran dan keruksakan. Semuanya menerima azab Allah di dunia sebelum kelak di akhirat. Mereka adalah ‘Ad, Thamud, dan Fir’aun. Tiga kelompok ini terkenal sebagai orang-orang yang secara angkuh menentang Allah, sekalipun mengajak orang lain untuk melakukan hal yang serupa.

Raja ‘Ad mempunyai dua orang anak, Shadid dan Syddad. Mereka meneuskan usaha ayah dalam mengajak manusia kepada perbuatan syirik. Bahkan Shaddad, setelah kematian saudaranya, ingin membangun sebuah surga di dunia sebagai saingan dari surga yang sering di sebut-sebut oleh Allah dalam kitab-Nya.

Nabi Hud, nabi zaman Raja ‘Ad, berupaya mengajaknya beriman kepada Allah. Disampaikannya wahyu-wahyu Allah kepadanya. Diperingatkannya akan bahaya-bahaya orang-orang yang menentangnya Allah swt. Dan diingatkannya juga bagaimana dahulu pengikut Nabi Nus a.s., tenggelam ditelan badai lantaran pengingkaran mereka kepada risalah-Nya dan bersikap koenfrontatif terhadap rasul-rasul-Nya (lihat Q.S: 7 : 56-70). Tetapi, Syaddad tidak menggubris pesan-pesan sang Nabi, bahkan dia menantang akan mewujudkan nikmat-nikmat surgawi di dunia ini bagi pengikut-pengikutnya.

Syaddad menelaah sifat-sifat syarga yang dijanjikan Allah dalam Alkitab, yaitu berupa istana-istana yang berdiri megah dengan sepuhan emas dan taburan mutiara, dan di bawahnya mengalir air sungai dengan berbagai warna dan rasa dikelilingi pepohonan yang rindang sehingga menciptakan udara yang segar, tidak panas dan tidak juga dingin, di sana-sini berdiri para bidadari yang cantik jelita yang setiap saat siap melayani para penghuninya, dan sebagainya.

Suatu hari Syaddad memanggil seluruh wajir dan pembantu dekatnya. Katanya, “Tuan-tuan ! Hud berkata bahwa Tuhannya telah menjanjikan orang yang beriman dan yang patuh kepada-Nya akan nikmat-nikmat surga. Aku ingin menyaingi-Nya. Aku juga bisa membangun surga seperti itu di dunia ini . bagaimana pendapat kalian!”

“Kami menjunjung tinggi seluruh perintahmu,” jawab para pembantunya secara aklamasi. “Apalagi se;uruh dunia ini berada di bawah kuasamu”.

Sejak itu Syaddad memerintahkan seluruh pegawainya untuk mengumpulkan emas, perak, berlian, dan segala macam batu-batu bernilai lainnya dengan cara apapun. Dia gali seluruh kekayaan alam dan dirampasnya seluruh perhiasan dan barang-barang berharga milik rakyatnya semata-mata karena ingin mewujudkan impiannya.

Setelah mereka menemukan tempat yang sesuai, dengan air sungainya yang mengalir dan pohon-pohon hijau yang rindang, akhirnya mereka mulai membangun sebuah “surga” seperti yang direncanakannya. “Surga” itu kemudian deikenal dengan nama Iram. Alqur’an menyebutnya dengan nama Iram Dzar al-Imad, sebuah kata yang demikian indahnya sehingga Allah berfirman, “Allah lam yukhlaq mithluba fil bilad., sebuah kota unik yang tiada satu pun kota seumpamanya pernah dibangun oleh manusia, dahulu dan kapan pun... (lihat Q.S. 89: 6-11)

Syiddad menghiasi kotanya dengan batu-bata, dari emas dan perak, sejumlah pepohonan disepuhnya dengan perak sementara dahannya dihiasi emas. Mereka bangun ruang-ruang yang dibuat dari baru-batu yang bernilai tinggi. Mereka taburkan yakut merah, intan berlian dan berbagai jenis batu-batuan yang berkilauan. Bahkan, mereka juga menaburkan parpum dan wangi-wangian yang kemudian menebarkan aroma semerbak kota Iram.

Tetapi kemegahan ini berdiri di atas penderiataan rakyat. Seluruh hak milik mereka dirampas. Tenaga mereka dikuras. Mereka dipaksa kerja keras siang dan malam. Tiada hak mereka yang dilindungi. Tiada tempat bagi orang-orang;emah ini mengeluh, banyak wanita akhirnya menjadi janda, anak-anak menjadi yatim. Kemelaratan dan kelaparan menebar di sana-sini, semata-mata karena ingin memenuhi obsesi sang Raja. Bertahun-tahun para algojo Syddad meneror rakyatnya. Tidak ada seorang pun yang berani memprotes apalagi menentang kebijakkan Syaddid, selain beberapa orang mukmin yang menengadahkan tangannya kehadirat Allah Azza wa Jalla. “Atau siapakah (selain Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya dan menghilangkan kesusahan …..” (Q.S : 27;62)

Seorang anak yatim yang fakir dan papa suatu hari berjalan di sebuah lorong yang kumuh dan kedil, di lehernya terikat seutas kalung tua yang terbuat dari logam prak senilai dua dirham. Ketika ia berpapasan dengan tentara-tentara Syddad, kalung yang mungil dan tak bernilai ini terlihat oleh para tentara. Mereka rampas kalung itu dengan paksadan membiarkan si anak yatim yang kurus kering ini menangis sedih tanpa daya. Si anak mengangkat kedua tangannya ke hadirat Allah/

Ilahi, Engkau Mahatahu
Apa yang dilakukan oleh orang-orang zalim ini pada hamba-Mu
Tiada tempat kami mengadu melainkan pada-Mu
Engkaulah Tuhan orang-orang teraniaya
Engkaulah tempat mengadu bagi orang-orang papa
Tolonglah kami wahai Yang Maha Penolong
Selamatkah kami dari segala kejahatan Syddad dan orang-orangnya.


Sebuah riwayat mengatakan bahwa doa si yatim kemudian diaminkan oleh para malaikat yang ada di langit.
Saat Syddad ingin meresmikan surganya, tiba-tiba Allah memerintahkan angina bertiup kencang menghancurkan segala keangkuhannya. Bumi mengguncang perutnya dan menelan seluruh kebesaran keluarga ‘Ad

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram yang memunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain; dan kaum Thamud yang memotong batu besar di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang di dalam negeri itu. Karena itu, Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeri azab. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” (QS. 89: 6-14).

“Maka tahukah Anda dari doa orang-orang yang teraniaya karena antara dia dan Allah tidak lagi dipisahkan oleh tabir yang membatasi,” begitu pesan Nabi saw.



Batu-Batu Arafah Bersaksi


Dalam perjalanan haji bersama jamaah rombongannya Ibrahim Al-Wasithi, sufi yang hidup pada abad keempat Hijriah, tiba di Arafah. Saat wukuf, dia hanya asyik dengan amal ibadah dan do’a-do’a. sepanjang hari tanggal 9 Zulhijah itu Al-Wasithi hanya berzikir dengan penuh khusyuk sambil menangis teringat akan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Bukankah Ibadah Haji adalah bertamu ke haribaan Allah ‘Azza wa Jalla. Bukankah ibadah haji adalah saran kembali kepada Allah dari segala dosa. Bukankah Padang Arafah adalah tempat hamba-hamba Allah mengadu dan mengakui segala dosanya, lalu Allah dengan kasih sayang-Nya akan mengampuni seluruh dosanya, walau sebanyak butir yang ada di padang sahara sekalipun.....

Al-Wasithi memanfaatkan waktu yang hanya satu kali satu tahun itu dengan penuh makna. Dia tahu betul arti hari arafah. Suatu tempat menurut sebagian riwayat – Nabi Adam, bapak umat manusia mengakui kesalahan-kesalahannya di hadapan Allah lalu allah dengan rahmat-Nya menerima permohonan tobatnya.

Usai beribadah dan zikir panjang, Al-Wasithi keluar dari kemahnya ingin menghirup udara Arafah. Dia memperhatikan langit-langit biru yang menutupi padang Arafah yang terbentang lebar. Sambil memuji-memuji allah, Al-Wasithi terus fana dalam renungan dan tafakur akan keesaan Allah Rabbul Jalal. Kemudian, dia berjalan perlahan selangkah demi selangkah, sampai akhirnya ia menemukan seonggokan batu-batu kecil yang akan bisa digunakan untuk melempar jumrah kelak. Sebelum menjemput batu-batu itu, ia ingin agar seluruh yang ada disekitar Padang Arafah menyaksikan ikrarnya sebagai seorang Muslim dan seorang hamba Allah. Sambil menggenggam batu-batu Arafah, Al-Wasithi berkata, “Wahai batu-batu Arafah, saksikanlah kelak di hadapan Allah bahwa aku berikrar Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadan “Abduhu Wa Rasululhu, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.”

Malam 10 Zulhijjah, saat ketika rombongan haji akan meninggalkan Arafah dan berangkat menuju ke Muzdalifah kemudian ke Mina untuk melakukan sisa menasik haji yang belum terlaksana, seperti mabil sejenak di Masy’ar atau sejenak sebelum berangkat Al-Wasithi tidur kecapaian. Katanya, dia bermimpi dalam tidurnya bahwa hari kiamat telah tiba. Lautan manusia tengah berdiri menanti hisab dari Allah. Keadaan seperti Arafah tempat manusia berdiri dengan pakaian yang sama dan tidak terlihat ada yang lebih utama dari sesamanya kini terlihat kembali dalam mimpinya dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dia saksikan betapa dahsyatnya hari itu. Semua manusia hanya memikirkan dirinya sendiri. Semua manusia menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya, betapapun kecilnya perbuatan dosa itu. Tidak terlihat si anak mau menolong si ayah. Tidak terlihat si istri memikirkan nasib suaminya. Semuanya sendiri-sendiri. Yang dipikirkannya hanya sirinya semata-mata; apakah dia bisa selamat atau mungkin akan diazab oleh Alloh swt.

Tiba saat hisab. Satu demi satu orang dihisab dan ditimbang amalnua oleh Allah swt. Tidak ada yang merasa dizalimi atau diperlakukan sewnang-wenang oleh allah. Semuanya dihitung seadil-adilnya oleh Yang Maha Adil. Tiba giliran A-Wasithi untuk dihisab. Wajahnya berubah pucat. Dia menanti hasilnya, apakah ia akan selamat atau tidak. Betapa terkejutnya ketika tiba-tiba ia digiring ke arah api neraka usai dihisab. Dia menangis dan mohon pertolongan. Tapi pada hari itu siapa yang sanggup menolongnya. Dia merintih dan menjerit. Dia memohon agar dikembalikan ke dunia untuk bisa beramal, walau sebentar saja. Namun hari itu adalah hari pembalasan. Bukan hari amal. Dahulu di dunia manusia telah diberi kesempatan oleh allah untuk beramal, namun mereka kadang-kadang lalai dan bahkan mengabaikannya.

Setibanya al-Wasithi di pintu neraka, dan ketika dia hampir-hampir dijebloskan ke dalamnya, tiba-tiba ada sebuah batu muncul dan berupaya menahannya. Malaikat azab berusaha menggeserkan batu tersebut, tetapi mereka tak berdaya. Dibawanya lagi Al-Wasithi ke pintu kedua, tetapi batu lain muncul lagi menghalanginya. Begitulah seterusnya sampai pintu ke tujuh. Setiap kali batu itu menahannya dari api neraka, ia kemudian bersaksi, “Ya allah, kami adalah batu-batu kecil Arafah. Kami menyaksikan bahwa si Polan ini telah berikrar dan bersaksi bahwa tiada Tuhan ,melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasululloh”. Para malaikat kemudian membawanya ke ‘Arasy. Di sana kemudian Allah berfirman, “Batu-batu Arafah itu telah menyaksikan ikrar dan syahadahmu dan mereka tidak menyia-nyiakanmmu. Karena itu, mana mungkin aku akan sia-siakan ikrarmu. Aku terima syahadah dan kesaksianmu. Dan kini masuklah ke dalam surga-Ku”………..
(sumber dari dialog-dialog Sufi – Husein Shahab)