Apabila seseorang mati, manusia sekitarnya akan bertanya: apa yang ditinggalkannya? Tapi para malaikat akan bertanya: apa yang dibawanya?. Demi Alloh, keluarkanlah sebagian (dari harta kalian), kelak ia kan menjadi bekal bagi kalian, dan jangan ditinggalkan seluruhnya, kelak ia akan menjadi beban bagi kalian.(Imam ali bin Abithalib)
“Mengapa sebagian orang Muslim itu takut mati?” tanya salah seorang dari murid Imam Muhammad bin Ali yang dikenal dengan Al-Jawad.
“Karena mereka tidak tahu apa itu mati,” jawab sang Imam. “Apabila mereka tahu dam benar-benar sebagai kekasih Allah, niscaya mereka akan menyukainya. Karena setiap kekasih Allah akan mencari kekasihnya dan bagi kekasih Allah kehidupan di akhira adalah lebih baik ketimbang kehidupan di dunia.”
Imam Jawad yang sering berbicara dengan kata-kata hikmat ini adalah putra Imam Ali Redha r.a. ayah dianggap oleh sebagian tarikat sufi, Thariqat Naqsyabandiah misalnya, sebagai salah seorang dari Imam besar rohani yang hidup pada abad kedua Hijriah. Imam Jawad sendiri adalah seorang Imam suci yang menghirup ilmu-ilmu makrifat langsung dari ayahnya. Ayah memperoleh semua itu dari para leluhurnya yang terus bersambung sampai kepada datuknya yang tertinggi, yakni Rasululloh saw. Kendati demikian, Imam Jawad kadang-kadang berupaya menyederhanakan masalah-masalah yang rumit kepada para muridnya sehingga mereka mudah memahaminya.
“Coba Anda perhatikan anak-anak kecil dan orang-orang yang tak waras. Bukankah mereka tidak suka makan obat padahal obat sangat berguna untuk menyembuhkan penyakit mereka atau menghilangkan derita-derita mereka,” sambung Imam Jawad. “Itu semata-mata karena mereka tidak tahu manfaat obat tersebut. Demikianlah orang yang takut mati. Karena tidak tahu apa itu mati, mereka menyimpan rasa khawatir kepada.”
“Wahai teman-teman!” sambung sang Imam. “Demi Dzat yang telah mengutus Muhammad sebagai Rasul! Orang yang siap menghadapi mati, kapan pun dan dimana pun juga adalah orang yang telah siap dengan bekal yang cukup. Persiapannya itu jauh lebih bermanfaat dari obat yang sangat mujarab bagi seorang pasien yang sakit. Sungguh apabila mereka tahu besarnya nikmat yang akan mereka peroleh setelah kematian, niscaya mereka akan mencarinya dan mencintainya lebih dari usaha seorang pesakit yang mencari obat untuk kesembuhannnya.”
Ajal atau maut memang sebuah misteri yang sangat menakutkan sebagian orang. Betapa tidak, ia pasti akan datang menjemput, cepat atau lambat, di mana saja dan kapan saja. Ia adalah suatu kemestian yang tak dapat di tawar-tawar. Apabila saatnya tiba, tidak seorang pun yang akan bisa meminta untuk menundanya; atau apabila saatnya belum tiba, tidak seorang pun yang akan bisa meminta untuk disegerakan menjemputnya. Orang yang merasa sudah sangat jemu dengan kehidupan dunia lantaran penderitaan yang terlalu banyak atau problema-problema yang tak terselesaikan tidak akan bisa menghardik ajal apabila tiba-tiba ia datang ke hadapannya. Karena itu, ia adlah sebuah misteri yang tidak akan bisa dipahami sampai kapan pun.
Ada dua kategori maut kata Ibnu ‘Arabi. Pertama, adalah al-Maut al-Idhthirari, mati secara terpaksa’ mati yang tidak dikehendaki oleh tuannya. Meskipun ia tahu bahwa dia tidak dapat mengelak. Mati jenis ini adalah suatu kemestian yang tak dapat ditunda. Bukan hanya manusia, juga seluruh benda hidup yang ada di atas dunia yang fana ini. Kedua, adalah Al-Maut Al-Ihktiyari, mati secara rela, yakni tuannya dengan hati yang rela menyambut kedatangan malaikat maut yang akan menjemputnya.
Kelompok kedua ini adalah kelompok manusia yang mencari ajal, bukan yang dicari oleh ajal. Dia melihat bahwa mati bukan sebagai derita, tetapi sebagai pertemuan antara dua kekasih. Kekasih yang nisbi ingin berjumpa dengan Kekasih Yang Mahamutlak. Untuk berjumpa dengan Yang Mahamutlak, dia siap menempuh apa pun jalan yang mungkin bisa mengantarkannya, kendatipun penuh liku-liku dan kendala-kendala yang besar. Apabila kita mendengar ada sekelompok manusia yang berani mati demi tegaknya agama Allah, itu sebenarnya sebuah isyarat bahwa ia memilih Al-Maut Al-Ikhtiyari. Karena baginya kepentingan Sang Kekasih di atas segala kepentingannya. Kepada kelompok ini Allah memanggil mereka dengan sebutan al-Nafs al-Muthmainah, jiwa-jiwa yang damai. Allah swt. Berfirman dalam kitab suci Alqur’an, “Wahai jiwa-jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai…..” (89:28)
Bagi orang bertipe ini, maut baginya adalah sebuah nikmat. Dan karena ia adalah nikmat, maka secara sadar dia mencarinya dan mendambakan kehadirannya.
0 komentar:
Posting Komentar