Selasa, 21 April 2009

Harga Sebuah Hidayah


"Seorang pelanggar yang mengakui dosa-dosanya adalah lebih baik dari seorang yang patuh yang berbangga akan amal-amalnya"

Suatu hari Syekh Abu Nasr Al-Samarkandi, pengagum berat Imam Hasan A;-Bashri, pernah bercertia kepada para muridnya perihal tokoh sufi idealnya ini.
“Jauh sebelum Imam Hasan Al-Bashri dikenal sebagai sufi besar dan ketika beliau masih berusia muda,” kata Syekh memulai ceritanya. “Beliau dikenal sebagai pemuda yang sangat tampan dan memikat. Hampir setiap hari beliau memekai pakaian yang elok dan berjalan-jalan di sekitar kota Bashrah. Suatu hari, beliau berpapasan dengan seorang wanita yang cantik jelita pada sebuah lorong kota Bashrah. Selain cantik, mata si wanita sangat memikat hati Hasan muda ini. Tidak puas dengan sekadar melihat, Hasan muda kemudian menguntitnya dari belakang. Diperhatikannya cara wanita ini berjalan sampai kemudian Hasan menyapanya.

“Wahai Polan! Sejak tadi kurasakan engkau mengikutiku. Apakah kau tidak menyimpan sedikit rasa malu?” tanya si wanita.
“Kepada siapa aku harus malu?” Hasan balik bertanya.
“Seharusnya kau malu kepada Allah, Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Tahu terhadap mata-mata yang berkhianat dan apa yang tersembunyi di balik dada.”
Namun, apa daya nafsu Hasan muda lebih menguasai dirinya daripada akal atau imannya. Kendatipun perbuatan itu adalah dosa dan dimurkai oleh Allah, namun tidak jarang memang nafsu manusia bisa mengalahkan rasio dan kalbunya daripada sebaliknya. Akal dan kalbu seharusnya mengaontrol nafsunya.
Karena kecenderungan nafsu menguasai akal lebih besar daripada sebaliknya, untuk mengingatkan diri dan lebih menghayati keharusan memiliki akal yang dominan, munajat mereka seperti berikut.

Illahi qalbi mahjub, wa nafsi ma’yub,
Wa ‘aqli maghlub, wa hawa-i ghalib,
Wa tha’ati qalil, wa ma’shiyati kathir,
Wa lisani muqirrun bi al-dzunub,
Fa kaifa hilati ya sattaral ‘uyub,
Wa ya ‘allamal ghuyub,
Ighfir dzunubi kullaha bi hurmati Muhammadin wa ali Muhammad....”

Illahi,
Hatiku ini telah tertutupi hijab,
Jiwaku ini telah dipenuhi aib,
Akalku ini telah dikalahkan,
Hawa nafsuku ini telah mengalahkan,
Ketaatanku sangat sedikit,
Maksiatku sangat banyak,
Lidahku mengakui dosa-dosanya,
Maka bagaimana kesudahannya,
Wahai Yang Maha Penutup segala aib,
Wahai Yang Mahatahu segala yang gaib,
Ampunilah dosa-dosaku semua
Demi keagungan Muhammad dan keluarganya.

Hasan muda terus mengejar wanita jelita itu. Hatinya bergelora ingin segera berkenalan dengannya. Dia tidak mau peduli dengan siapa pun yang berupaya menghalangi kehendakinya. Sampai kemudian si wanita ini berhenti dan bertanya kepada Hasan, “Wahai Polan! Bisakah kutahu mengapa kau terus menguntitku?”
“Duhai belahan nyawaku!” jawab Hasan muda. “sungguh, hati ini sangat terpikat pada matamu yang sangat indah itu.”
“Kalau begitu, tunggulah di sini, dan sebentar lagi akan kuutus padamu sesuatu yang bisa memenuhi kehendak nafsumu,” jelas wanita itu singkat.
Hasan muda menduga bahwa dirinya tidak bertepuk sebelah tangan. Gayungnya bersambut. Harapan nafsunya yang membakar seluruh jiwanya akan terpenuhi tidak lama lagi. Tidak lama memang. Saat Hasan muda tengah berdiri di persimpangan jalan, tiba-tiba ia didatangi oleh seorang perempuan kecil yang berwajah kumuh. Di tangannya ada nampan kecil yang tertutup kain. Dengan suara yang lemah, perempuan ini berkata, “Tuan, aku diperintahkan oleh majikanku untuk membawa nampan ini kepadamu. Katanya, dia tidak ingin memiliki mata yang dengannya ia mendapat murka dan karenanya seseorang menjadi terpedaya.”
Hasan muda ini kagetnya bukan kepalang. Dia tidak bisa memahami kata-kata perempuan ini. Dia juga tidak tahu apa yang tengah dihadapinya dan apa yang seharusnya dia lakukan. Usai menerima nampan itu, dan setelah ia buaka kain penutupnya, Hasan muda menjerit sambil istigfar kepada Allah berkali-kali. Ternyata dalam nampan itu tergulir dua bola mata indah yang sangat memikat hati Hasan muda tadi. Sembari memegang janggutnya yang terulur rapi, Hasan muda ini berkata kepada dirinya:

Wahai jiwa yang hina dina
Wahai Hasan yang memiliki jiwa yang rendah
Siapakah dirimu di hadapan wanita salehah itu
Takutlah kepada Allah dan mohonlah ampunan dari-Nya

Sejak saat itu Hasan Bashri sangat menyesali perbuatannya. Dia bertobat dengan taubatan nashuha. Dia benar-benar kembali ke haribaan Allah dan meniti perjalanan rohaninya dengan sangat rajin dan sungguh-sungguh, sampai akhirnya dia dikenal sebagai salah seorang dari pemuka tokoh sufi periode awal.


Jumat, 16 Januari 2009

Kultum Malaikat Jibril


"Periharalah agamamu dengan duniamu kelak kau akan untung dari keduanya; dan jangan kau pelihara duniamu dengan agamamu kelak kau akan rugi dari keduanya."

Jibril sering datang kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan wahyu Allah. Dia datang kadang-kadang dalam bentuk rupanya yang asli dan pada kesempatan lain dia datang menyerupai manusia biasa. Tidak jarang, misalnya, dia datang untuk sekedar berkunjung kepada Nabi Muhammad atau ingin memberi kuliah kepada para sahabat yang tengah berkumpul di sekitar Nabi saw. Tentu maksudnya bukan kuliah dalam arti ceramah, apalagi tablig akbar, melainkan dalam bentuk dialog dengan Nabi yang didengar oleh para sahabat yang sedang berkumpul disekitarnya.

Dialog-dialog seperti itu banyak juga diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Berikut kita kutipkan dialog Jibril dengan Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah Al-Anshari, seorang sahabat yang berasal dari kota Madinah dan tergolong di antara sahabat Nabi yang sangat dekat. ”Suatu hari ketika aku bersama Rasululloh, ”kata Jabir mengawali ceritanya, ”datanglah kepada Nabi seorang laki-laki yang sangat tampan. Wajahnya putih bersih dan bersinar. Rambutnya ikal. Pakaiannya serba putih. Setelah mengucapkan salam, si tamu mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut kepada Rasululloh.

”Wahai Rasulullah! Beritahukan kepadaku apa itu dunia?”
”Dunia adalah laksana mimpi orang tidur,” jawab Nabi.
”Lalu apa itu Akhirat?”
”Akhirat adalah sebuah tempat pemisah antara surga dan neraka.”
”Lalu apa itu surga?”
”Surga adalah sebuah tempat ganti bagi orang yang meninggalkan dunia karena harga sebuah surga adalah meninggalkan dunia.”
”Apa itu neraka?”
”Neraka adalah sebuah tempat ganti bagi orang yang mengejar dunia.”
”Siapa umat yang paling baik?”
”Mereka yang melaksanakan perintah Allah.”
”Bagaimana seharusnya seorang Muslim hidup di dunia ini?”
”Dia harus kuat dan bersemangat baja sedemikan rupa sehingga dia bagaikan seorang yang tengah tertinggal kafilah. Dia akan terus mengejarnya sampai dia mendapatkannya.”
”Berapa lama orang bisa hidup di dunia?”
”Seperti orang yang tertinggal kafilah.”
”Seberapa jauh jarak antara dunia dengan Akhirat?”
”Diantara kerdipan mata.”
usai bertanya, si penanya ini pergi meninggalkan majelis. ”Dia pergi dan hilang tanpa bekas,” kata Jabir kemudian.
”Itulah Malaikat Jibril yang datang kepada kalian ingin mengajarkan arti zuhud di dunia dan menanamkan rasa cinta kepada akhirat,” komentar Nabi setelah kepergiannya.

Kamis, 15 Januari 2009

Bayangan Akhirat di Dunia


"Keindahan politik terletak pada sikap adil ketika memimpin dan memberi maaf ketika berkuasa".
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang berasal dari keluarga Bani Umawiyyah. Ia dikenal zuhud dan wara’ dalam beragama. Berbeda dengan para leluhurnya yang dikenal angkuh dan suka menghambur-hamburkan harta kekayaan. Meskipun periode pemerintahannya relatif sangat singkat (99-102 H), namun Umar bin Abdul Aziz telah berhasil merombak sejumlah kebijaksanaan yang berkaitan dengan umat Islam dan akidah mereka.
Sejarah mencatat bahwa Umar bin Abdul Aziz-lah yang pertama kali memulai membaca kalimat Innallaha ya’muru bil’adli wal ihsan….(16:90) dalam setiap khotbah jum’atnya, kemudian memerintahkan seluruh khatib untuk membaca ayat serupa pada bagian kedua dari khotbah Jum’at. Hal ini dilakukannya sebagai ganti dari ketentuan Muawiyah yang mewajibkan setiap mimbar jum’at untuk mencaci Ali dan keluarganya sepanjang hampir empat puluh tahunan
Pemerintah Umar bin Abdul Aziz berjalan dengan penuh keadilan. Dia berupaya menghapus sistem nepotisme yang telah dipraktikan oleh Dinasti Umawiyah puluhan tahun. Dia mendistribusikan kekayaan rakyat secara rata. Dia menanggalkan seluruh jubah kebesarannya dan rela mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Dia menderita karena penderitaan rakyat dan memilih untuk puasa daripada melahap fasilitas-fsilitas kerajaan yang diberikan kepadanya. Dia melihat kekuasaan sebagai sebuah amanat bukan sebuah nikmat. Karena amanat, ia harus ditunaikan dengan sempurna. Mengabaikannya bisa berarti khianat kepada hati nurani, kepada rakyat, apalagi kepada Allah.

Suatu hari hamba sahaya perempuannya pernah berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, semalam aku bermimpi tentang sesuatu yang sangat mengharukan.”
“Mimpi apa itu?” tanya sang Khalifah.
“Aku bermimpi tentang hari kiamat. Saat itu semua manusia dibangkitkan oleh Allah; timbangan hisab telah disiapkan dan titian shiratal-mustaqiem juga telah dibentangkan.”

Mendengar tentang shiratal mustaqim atau titian mustaqim yang kelak akan dilewati setiap orang, terbayang dalam benak Umar bin Abdul Aziz akan hadits yang menyatakan bahwa kelak manusia yang akan melewatinya terbagi ke dalam beberapa kelas. Ada kelompok manusia yang sangat cepat dapat melewatinya laksana kilat, ada yang dapat melewatinya secepat lari kuda, ada yang melewatinya dengan merangkak, bahkan ada yang sampaik jatuh bangun. Umar bin Abdul Aziz tahu bahwa aneka ragam manusia yang melewati shirat sebenarnya adalah refleksi dari amal dan kepatuhan mereka kepada Allah di dunia ini. Mereka yang jatuh bangun dalam beramal saleh di dunia. Orang yang merangkak di shirat adalah mereka yang “merangkak” dalam beramal saleh di dunia. Orang yang melewati shirat laksana kilat adalah mereka yang tergolong dalam kelompok orang-orang yang segera menunaikan perintah Allah tanpa pernah menundanya.

“Teruskan cerita mimpimu!” kata Umar bin Abdul Aziz kepada hamba ini

“Kulihat diantara orang pertama yang dihadapkan untuk dihisab adalah Abdul Malik bin Marwan (Penguasa Bani Umaiyah dari tahun 65-86 H)” sambungnya. “Aku melihat para malaikat berkata kepadanya, “Wahai Abdul Malik, jalanlah di atas shiratal-mustaqim ini”.

Kemudian Abdul Malik bin Marwan mulai meletakkan kakinya ingin melangkah. Baru saja ia berjalan selangkah atau dua langkah tiba-tiba ia jatuh ke dalam jurang api neraka. Kudengar suara pekik dan tangisnya mohon ampunan. Tetapi, hari itu adalah hari hisab tanpa bisa beramal, seperti dunia adalah hari amal tanpa hisab.

Berikutnya datang pula putranya, Walid bin Abdul Malik bin Marwan. Para malaikat itu juga berkata kepadanya “Wahai Walid, berjalanlah lewat shiratal mustaqim,” seperti ayahnya, ketika Walid hendak melangkahkan kakinya di atas titian, tiba-tiba ia pun tergelincir dan jatuh ke dalamnya. Begitulah yang terjadi terhadap sejumlah khalifah-khalifal lain.”

Umar bin Abdul Aziz tidak dapat membendung air matanya yang terus mengalir. Dia tahu betul bahwa tanggung jawab seorang Khalifah dan penguasa tidak sama dengan tanggung jawab rakyat biasa. Apabila seorang penguasa bersikap adil, dia akan memperoleh kedudukan yang sangat tinggi di surga. Tetapi, apabila tidak, neraka waylah-lah tempat kembalinya.

“Lalu tibalah giliranmu wahai Amiriul Mukmini.” Kata si hamba secara perlahan.

Sampai di sini tiba-tiba Uamr bin Abdul Aziz berteriak histeris. Tangisnya semakin kuat. Badannya gemetar. Jiwanya kecut. Mukanya pucat. Hatinya seperti luluh lantah dan teriris-iris mengingat hari yang maha dahsyat itu. Teringat dalam benaknya keangkeran api neraka seperti yang dikatakan oleh Allah dalam Kitab-Nya. “(Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka): rasakanlah sentuhan api neraka” (54:48) Umar memukul-mukuli kepalanya dan hampir-hampir pingsan. Wanita itu bingung. Dia tidak menduga bahwa tuannya akan menderita sedemikian rupa lantaran mendengar ceritanya. Dia berusaha menenangkan tuannya, tetapi tidak berasil. Akhirnya, dengan suara yang agak keras dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, demi Allah aku melihat engkau berhasil melewati shiratal-mustaqim. Engkau dapat sampai ke surga dengan selamat.

Seketika itu juga Umar bin Abdul Aziz reda dan diam kembali. Tetapi, dia tidak bisa bicara. Untuk selanjutnya dia bersikap lebih hati-hati dalam memikul amanat Allah yang mahaberat itu.

Rabu, 07 Januari 2009

Bilal Bercerita tentang Nabi

“Patuhlah kepada yang di atasmu kelak akan patuh orang yang berada di bawahmu; dan benahilah atinmu kelak akan Allah benahi rupa lahiriahmu”.

Bilal Al-Habsyi adalah salah seorang dari sahabat Nabi yang masuk Islam pada pada periode awal risalah. Karena ia memiliki ketakwaan yang tinggi plus suara yang merdu, Nabi mengangkatnya sebagai muazin (juru azan)-nya. Hampir setiap saat dia bersama Nabi dan mengiringi kepergiannya. Karena itu, dia banyak mengetahui sifat-sifat dan karakter Nabi yang sangat terpunji, terutama dalam hal membela orang-orang yang lemah.

“Suatu hari ketika kami masih berada di Mekah, “cerita Bilal mengawali kisahnya, “aku bersama Nabi saw. Berada di rumah Abu Bakar. Tiba-tiba pintu rumah diketuk oleh seorang tamu yang tidak kami kenal. Aku keluar seorang Nasrani (Kristiani) tengah berdiri di depan pintu. “Apakah Muhammad bin Abdullah ada di sini?” tanyanya.
“Ya, Muhammad ada di dalam,” jawabku.

Dengan seizing tuan rumah, si Nasrani akhirnya berjumpa dengan Nabi Muhammad.

“Wahai Muhammad!” kata si Nasrani membuka pembicaraannya. “Apakah benar bahwa anda adalah utusan Allah?”
“Ya, aku adalah Muhammad Rasul Allah,” jawab Muhammad
“Apabila benar, Anda pasti akan mau membelaku dari orang-orang yang telah berlaku zalim kepadaku.”
“Siapa yang telah menzalimimu?” Tanya Muhammad.
“Abu Jahal bin Hisyam. Dia telah merampas hartaku. Karenanya aku berharap kau akan dapat menolongku.”

Muhammad segera berdiri dari tempat duduknya. Beliau langsung pergi menuju tempat kediaman Abu Jahal. Bagi Muhammad, merampas hak milik orang lain adalah perbuatan yang buruk dan tercela; siapa pun yang melakukannya. Apalagi bila yang dirampas adalah harta milik orang-orang yang lemah.

Melihat Nabi Muhammad yang bergegas pergi ke tempat tujuan Abu Jahal, Bilal kemudian berkata, “Ya Rasulullah ! pada saat seperti ini biasanya Abu Jahal tengah beristirahat. Aku khawatir dia akan marah kepadamu bila kau mendatanginya sekarang. Di samping dia juga tidak akan memperdulikan kata-katamu dan tidak akan mendengar tuntutan serta pembelaanmu terhadap si Nasrani ini.”

Muhammad tidak menggubris pernyataan Bilal. Dia tetap saja pergi ke rumah Abu Jahal untuk bisa menemuinya. Dengan wajah yang agak kesal dan hati yang penuh iba kepada nasib si Nasrani yang malang ini, akhirnya Muhammad sampai juga ke rumah Abu Jahal.

Abu Jahal keluar, usai mendengar ketukan pintu. Katanya, “Wahai Muhammad masuklah ! Apakah ada sesuatu yang harus kutunaikan padamu?”
“Ya, aku datang hanya ingin membela si Nasrani yang malang ini, “jawab Muhammad. “Dia berkata bahwa kamu telah merampas hak miliknya dan menganiayanya. Sekarang kumohon agar engkau segera mengembalikannya.”

“Wahai Muhammad! Apakah karena itu lalu kau datang ke rumahku? Seandainya kau utus seseorang untuk memintanya dariku niscaya aku akan mengembalikannya pada si Nasrani ini,” kilah Abu Jahal. “Tidak, sebaiknya jangan kau tunda-tunda lagi hak miliknya. Kembalikan haknya sekarang juga !” desak Muhammad.

Abu Jahal kemudian memerintahkan seluruh budaknya untuk mengembalikan harta milik si Nasrani yang pernah dirampasnya. Setelah selesai, Muhammad masih bertanya kepada si Nasrani,

“Wahai Polan, apakah seluruh hartamu sudah dikembalikan oleh Abu Jahal?”

“Hampir seluruhnya, kecuali sebuah keranjang kecil,” katanya melapor kepada Muhammad.

“Wahai Abu Jahal,” tegas Muhammad. “kembalikan seluruh barangnya. Jangan satu pun yang tersisa padamu.

Abu Jahal kemudian mencari keranjang itu di sudut-sudut rumahnya. Tetapi apa daya, keranjang rampasannya tidak ada di rumah. Sampai kemudian dia menggantinya dengan sebuah keranjang yang lebih baik dan lebih baru.
Istri Abu Jahal protes.
“Demi Allah, “ kata istri Abu Jahal, “mengapa engkau harus tunduk kepada anak yatim Abu Thalib. Mengapa kau begitu hina di hadapan putra Abu Thalib?”

Abu Jahal menjawab, “Wahai istriku, apabila engkau menyaksikan apa yang aku saksikan niscaya engkau tidak akan berkata seperti itu.”

“Apa yang telah engkau saksikan?” Tanya istri Abu Jahal.
“Tapi jangan kau ceritakan kepada kawan-kawanku pinta Abu Jahal. “Demi Hubal, tadinya kusaksikan ada dua singa yang tengah menjaga Muhammad. Setiap kali aku ingin menolak permohonannya kuperhatikan dua singa itu siap akan menerkamku. Karena itu, aku tunduk dan patuh kepadanya.”

Si Nasrani, kata Bila, juga melihat apa yang dilihat Abu Jahal. Dia kemudian berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya aku percaya bahwa engkau adalah Rasul Allah dan agamamu adalah sebaik-baik agama.” Si Nasrani kemudian mengikuti agama Muhammad. Dia menjadi seorang muslim dan menjadi orang yang baik. Hal ini terjadi berkat sikap Nabi Muhammad kepada orang yang dizalimi tersebut.