Betapa mesra panggilan ayah dan anak di saat suasana demikiam mencekam dan mendebarkan dan harusnya penuh haru itu. Betapa ikhlas mereka untuk memenuhi perintah Tuhan.
Mari kita melakukan flashback lebih jauh lagi ke belakang, untuk mengingat bahwa sesungguhnya ada seorang tokoh IBU, yang sangat berperan dalam proses
pendidikan usia dini yang sudah disiapkan Allah SWT kepada Nabi Ismail, yaitu Bunda Siti Hajar. Sesuatu yang sangat perlu -- tapi jarang kita angkat -- agar dengannya bisa menjadi pembelajaran bagi kita dalam mendidik anak dan generasi masa depan.
Sering betul disampaikan bahwa "semua Nabi adalah pria" tapi kita sering lupa, atau sengaja melupakan bahwa sesungguhnya di banyak kisah para Nabi tersimpan atau tersembunyi cerita keteladanan atas peran kaum perempuan yang mengandung pembelajaran dan hikmah untuk kita renungkan dan teladani. Sayang sekali sering kita luput untuk menyampaikannya.
Mari kita membayangkan kejadian mengharukan yang terjadi ribuan tahun lalu, ketika seorang Ibu bernama SITI HAJAR, yang tidak lagi muda, bersama suami bernama IBRAHIM dan anak bayinya bernama ISMAIL tiba di tempat yang kini bernama Mekah di tengah terik matahari di padang pasir tandus tanpa persediaan makanan dan minuman memadai. Dalam keadaan galau tiba-tiba sang suami pamit dan berjalan pergi untuk meninggalkan sang istri dan anak bayi mereka.
Siti Hajar pun heran dan memperhatikan sikap suaminya dan bertanya; "Hendak kemanakah engkau suamiku? "Sampai hatikah engkau meninggalkan kami berdua ditempat yang sunyi dan tandus ini?"
Pertanyaan itu berulang kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak menjawab sepatah kata pun. Ia tetap melangkah meninggalkan istri dan anaknya. Siti Hajar pun bertanya lagi; "hendak kemanakah engkau Ibrahim? Sampai hatikah engkau meninggalkan aku dan anak bayimu di tengah padang tandus ini?" Lagi-lagi tidak dijawab oleh Nabi Ibrahim.
Siti Hajar kemudian bertanya sambil menangis: "Apakah ini perintah dari Allah?" Barulah Nabi Ibrahim menjawab; "ya." Dan Siti Hajar pun diam, tak bertanya lagi, dan dengan rela melepas suami meninggalkan dirinya dan anak bayinya tanpa siapa-siapa menemani kecuali keyakinan atas Ke-Maha-Kuasaan Allah.
Setelah ditinggal pergi, ia berikhtiar mencari air untuk anak bayi yang kehausan dengan lari dari Safa ke Marwah. Kemudian Allah memunculkan keajaiban dengan pancaran air Zam-zam di dekat Sang Bayi. Pelajaran keihklasan dari seorang Ibu dan keyakinan dan sikap tawakkal akan ke-Maha-Kuasaan Allah menjadi pelajaran untuk mendidik generasi kemudian.
Didikan penuh keikhlasan dan kepasrahan dari Ibundanya ini memberi pengaruh positif atas keikhlasan Nabi Ismail menerima perintah Allah melalui ayah kandungnya sendiri untuk menyembelihnya. Bisa kita bayangkan kalau Siti Hajar tetap merengek dan minta ditemani oleh Nabi Ibrahim AS. Atau kalau beliau dengan penuh kejengkelan dan rasa frustrasi mendidik dan membesarkan anaknya Ismail dengan marah-marah dan membentak atau mencaci ketika ditinggal pergi oleh suami tercinta.
Kepatuhannya pada suami yang diyakini menjalankan perintah Ilahi: "sami'na wa atho'na, saya dengar dan saya patuhi." Ketegaran menerima tanggung jawab dalam kondisi yang sangat berat, walau sendirian dan tak punya apa-apa. Berharap dan bertawakkal hanya kepada Allah karena meyakini bahwa suami berangkat karena perintah Allah. Yakin Allah akan menjaga dan memberi mereka rezeki. Berusaha dan berikhtiar terus sehingga dari tempat yang tandus memancar air Zam-zam, dari tiada menjadi ada,dan berlimpah. Setelah ribuan tahun meninggal, amalannya (berupa Sai dari Safa ke Marwah) tetap diikuti oleh jutaan orang, dan peningalannya berupa sumur Zam-zam bermanfaat untuk jutaan orang dari berbagai belahan dunia.
Semoga kita bisa bisa mendidik generasi masa depan dengan mengambil pelajaran dari ketaqwaan nabi Ibrahim AS, kesabaran Nabi Ismail AS dan ketabahan dan keikhlasan dan sikap tawakkal Bunda Siti Hajar.
Mari kita melakukan flashback lebih jauh lagi ke belakang, untuk mengingat bahwa sesungguhnya ada seorang tokoh IBU, yang sangat berperan dalam proses
pendidikan usia dini yang sudah disiapkan Allah SWT kepada Nabi Ismail, yaitu Bunda Siti Hajar. Sesuatu yang sangat perlu -- tapi jarang kita angkat -- agar dengannya bisa menjadi pembelajaran bagi kita dalam mendidik anak dan generasi masa depan.
Sering betul disampaikan bahwa "semua Nabi adalah pria" tapi kita sering lupa, atau sengaja melupakan bahwa sesungguhnya di banyak kisah para Nabi tersimpan atau tersembunyi cerita keteladanan atas peran kaum perempuan yang mengandung pembelajaran dan hikmah untuk kita renungkan dan teladani. Sayang sekali sering kita luput untuk menyampaikannya.
Mari kita membayangkan kejadian mengharukan yang terjadi ribuan tahun lalu, ketika seorang Ibu bernama SITI HAJAR, yang tidak lagi muda, bersama suami bernama IBRAHIM dan anak bayinya bernama ISMAIL tiba di tempat yang kini bernama Mekah di tengah terik matahari di padang pasir tandus tanpa persediaan makanan dan minuman memadai. Dalam keadaan galau tiba-tiba sang suami pamit dan berjalan pergi untuk meninggalkan sang istri dan anak bayi mereka.
Siti Hajar pun heran dan memperhatikan sikap suaminya dan bertanya; "Hendak kemanakah engkau suamiku? "Sampai hatikah engkau meninggalkan kami berdua ditempat yang sunyi dan tandus ini?"
Pertanyaan itu berulang kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak menjawab sepatah kata pun. Ia tetap melangkah meninggalkan istri dan anaknya. Siti Hajar pun bertanya lagi; "hendak kemanakah engkau Ibrahim? Sampai hatikah engkau meninggalkan aku dan anak bayimu di tengah padang tandus ini?" Lagi-lagi tidak dijawab oleh Nabi Ibrahim.
Siti Hajar kemudian bertanya sambil menangis: "Apakah ini perintah dari Allah?" Barulah Nabi Ibrahim menjawab; "ya." Dan Siti Hajar pun diam, tak bertanya lagi, dan dengan rela melepas suami meninggalkan dirinya dan anak bayinya tanpa siapa-siapa menemani kecuali keyakinan atas Ke-Maha-Kuasaan Allah.
Setelah ditinggal pergi, ia berikhtiar mencari air untuk anak bayi yang kehausan dengan lari dari Safa ke Marwah. Kemudian Allah memunculkan keajaiban dengan pancaran air Zam-zam di dekat Sang Bayi. Pelajaran keihklasan dari seorang Ibu dan keyakinan dan sikap tawakkal akan ke-Maha-Kuasaan Allah menjadi pelajaran untuk mendidik generasi kemudian.
Didikan penuh keikhlasan dan kepasrahan dari Ibundanya ini memberi pengaruh positif atas keikhlasan Nabi Ismail menerima perintah Allah melalui ayah kandungnya sendiri untuk menyembelihnya. Bisa kita bayangkan kalau Siti Hajar tetap merengek dan minta ditemani oleh Nabi Ibrahim AS. Atau kalau beliau dengan penuh kejengkelan dan rasa frustrasi mendidik dan membesarkan anaknya Ismail dengan marah-marah dan membentak atau mencaci ketika ditinggal pergi oleh suami tercinta.
Kepatuhannya pada suami yang diyakini menjalankan perintah Ilahi: "sami'na wa atho'na, saya dengar dan saya patuhi." Ketegaran menerima tanggung jawab dalam kondisi yang sangat berat, walau sendirian dan tak punya apa-apa. Berharap dan bertawakkal hanya kepada Allah karena meyakini bahwa suami berangkat karena perintah Allah. Yakin Allah akan menjaga dan memberi mereka rezeki. Berusaha dan berikhtiar terus sehingga dari tempat yang tandus memancar air Zam-zam, dari tiada menjadi ada,dan berlimpah. Setelah ribuan tahun meninggal, amalannya (berupa Sai dari Safa ke Marwah) tetap diikuti oleh jutaan orang, dan peningalannya berupa sumur Zam-zam bermanfaat untuk jutaan orang dari berbagai belahan dunia.
Semoga kita bisa bisa mendidik generasi masa depan dengan mengambil pelajaran dari ketaqwaan nabi Ibrahim AS, kesabaran Nabi Ismail AS dan ketabahan dan keikhlasan dan sikap tawakkal Bunda Siti Hajar.
sumber: http://marwahdaud.multiply.com
0 komentar:
Posting Komentar