Jumat, 29 Januari 2010

Mahar Wanita Suci

“Orang yang tidak bisa mengendalikan syahwatnya, tidak akan bisa memiliki akalnya”.


Setelah suaminya wafat, Rabi’ah Al-Adawiyah menjadi pusat perhatian hampir setiap laki-laki yang ada di sekitarnya. Tidak sedikit dari mereka yang terpaut hati kepadanya sebab janda yang agung ini bukan hanya cantik secara fisik, melainkan dia juga wanita ideal secara religius. Al-‘Adawiyah adalah wanita sufi yang sangat masyhur pada zamannya. Dalam menempuh perjalanan rohani, dia telah meninggalkan tidak sedikit pesuluk-pesuluk lawan jenisnya. Dalam kondisi umat yang sangat amoral ketika itu, Al-‘Adawiyah muncul sebagai tokoh sufi yang banyak menyelamatkan umat zamannya dari kejatuhan. Karena itu, namanya terukir indah di setiap hati orang-orang beriman, dan ia menjadi “mitra” sufi tokoh-tokoh seperti Hasan Bashri dan Malik bin Dinar.


Keberadaan Al-‘Adawiyah sebagai janda mengusik hati sejumlah orang yang mengenalnya. Tidak terkecuali sufi besar zamannya, seperti Hasan Bashri, Malik bin Dinar dan Thabit Al-Banna-i,. Mereka ingin meminangnya, karena tidak baik bagi seorang wanita janda sendirian tanpa pendamping yang syar’i, pikir mereka. Namun, mereka berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar apabila ingin menyunting Al-‘Adawiyah ini, apakah dirinya akan kufu’ (sepandan secara syari’at) atau tidak sekufu’?

Suatu hari tiga tokoh sufi, Hasan Bashri, Malik bin Dinar, dan Thabit Al-Banna-i sepakat akan bertandang ke rumah Al-‘Adawiyah. Mereka telah berencana untuk melamarnya sebagai istri. Terserah pada Al-‘Adawiyah siapa yang dianggapnya laik untuk menjadi pendampingnya.

“Wahai Rabi’ah, nikah adalah sunnah Nabi saw.,” kata mereka kepada Al-‘Adawiyah. “Dengannya maka sebagian dari agama kita akan terpelihara. Anda adalah orang arif yang tidak laik hidup seorang diri setelah kematian sang suami. Karena itu, pilihlah salah seorang di antara kami sebagai pasangan Anda.”

“Aku mempunyai sejumlah pertanyaan yang apabila salah seorang di antara kalian bisa menjawabnya, aku akan bersedia manjadi istrinya,” tantang Al-‘Adawiyah.
“Saya akan bersedia menjawabnya, insya Allah,” jawab Hasan Bashri.
“Wahai Hasan!” kata Al-‘Adawiyah memulai pertanyaannya. “Ketika kita masih berada di alam miqhat, (alam tempat seluruh manusia memberikan ikrar dan janji setianya kepada Allah swt. (lihat Q.S. 7:172) dan ketika Allah berfirman, si Polan akan berakhir di surga tanpa akau peduli; termasuk dalam golongan mana aku ditentukan oleh Allah wahai Hasan?”

“Aku tidak tahu, “jawab Hasan.
“Ketika malaikat membentukku dalam rahim ibuku, apakah waktu itu aku tercatat sebagai orang yang beruntung atau yang dimurkai oleh Allah?” tanya Al-‘Adawiyah lagi.
“Aku tidak tahu, wahai ‘Adawiyah“ jawab Hasan.
“Kelak pada hari kiamat ketika Allah menyetakan kepada sekelompok orang “jangan kalian khawatir dan bimbang”, dan kepada kelompok lain Allah berkata “celakalah kalian.....”, di kelompok mana aku akan digolongkan pada waktu itu?”

Demi Allah, aku tidak tahu,” jawab Hasan sambil menunduk.
“Kelak kuburan seseorang akan berupa taman surga atau mungkin berupa liang api neraka. Bagaimana rupa kuburanku kelak wahai Hasan?”
“Demi Allah, aku tidak tahu wahai Rabi’ah.”
“Kelak malaikat Munkar dan Nakir akan menanyakan di alam kubur, apakah aku akan bisa menjawabnya?”
“Ini adalah perkara gaib dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya,” jawab Hasan.
“Ketika semua manusia dibangkitkan dan buku-buku catatan mereka dibagikan, ada yang akan menyeambut bukunya dengan tangan kannya dan berakhir dengan keselamatan, ada juga yang akan menyambut bukunya dengan tangan kirinya dan berakhir dengan kemalangan. “Wahai Hasan, dalam kelompok mana aku berada pada saat itu?”
“Demi Allah, aku tidak tahu wahai Rabi’ah.”
“Kelak pada hari akhirat ada sekelompok orang yang berwajah putih dan ada sekelompok lain yang berwajah hitam. Wahai Hasan, di kelompok mana aku akan berada saat itu?” tanya Rabi’ah dengan sungguh-sungguh.
“Sekali lagi aku tidak tahu wahai Rabi’ah,” jawab Hasan.
“Ketika kelak ada sebagian manusia yang dipanggil ke surga dan sebagian yang lainnnya dipanggil ke neraka, dalam kelompok mana aku akan tergolong pada saat itu waha Hasan?”
“Aku tidak tahu hai Rabi’ah,”Jawab Hasan.
“Wahai Hasan, ketika aku sendiri masih belum bisa menjawabnya dan masih berduka panjang karenanya, lalu bagaimana mungkin diri ini akan terpikir dengan urusan nikah. Wahai Hasan, beritahu aku berapa bagian Allah telah ciptakan akal?”
“Sepuluh bagian, sembilan untuk laki-laki dan satu untuk perempuan,” jawab Hasan.
“Berapa bagian Allah telah ciptakan syahwat?”
“Sepuluh bagian juga, sembilan untuk perempuan dan satu untuk laki-laki,” jawab Hasan dengan yakin.
“Wahai Hasan, aku mampu memelihara sembilan bagian dari syahwat dengan satu bagian dari akal sementara kau tak mampu memelihara satu bagian dari syahwat dengan sembilan bagian dari akal,” kata Rabi’ah Al-‘Adawiyah mengakhiri.


Rabu, 20 Januari 2010

Mencari Ajal

Apabila seseorang mati, manusia sekitarnya akan bertanya: apa yang ditinggalkannya? Tapi para malaikat akan bertanya: apa yang dibawanya?. Demi Alloh, keluarkanlah sebagian (dari harta kalian), kelak ia kan menjadi bekal bagi kalian, dan jangan ditinggalkan seluruhnya, kelak ia akan menjadi beban bagi kalian.

(Imam ali bin Abithalib)


“Mengapa sebagian orang Muslim itu takut mati?” tanya salah seorang dari murid Imam Muhammad bin Ali yang dikenal dengan Al-Jawad.
“Karena mereka tidak tahu apa itu mati,” jawab sang Imam. “Apabila mereka tahu dam benar-benar sebagai kekasih Allah, niscaya mereka akan menyukainya. Karena setiap kekasih Allah akan mencari kekasihnya dan bagi kekasih Allah kehidupan di akhira adalah lebih baik ketimbang kehidupan di dunia.”


Imam Jawad yang sering berbicara dengan kata-kata hikmat ini adalah putra Imam Ali Redha r.a. ayah dianggap oleh sebagian tarikat sufi, Thariqat Naqsyabandiah misalnya, sebagai salah seorang dari Imam besar rohani yang hidup pada abad kedua Hijriah. Imam Jawad sendiri adalah seorang Imam suci yang menghirup ilmu-ilmu makrifat langsung dari ayahnya. Ayah memperoleh semua itu dari para leluhurnya yang terus bersambung sampai kepada datuknya yang tertinggi, yakni Rasululloh saw. Kendati demikian, Imam Jawad kadang-kadang berupaya menyederhanakan masalah-masalah yang rumit kepada para muridnya sehingga mereka mudah memahaminya.

“Coba Anda perhatikan anak-anak kecil dan orang-orang yang tak waras. Bukankah mereka tidak suka makan obat padahal obat sangat berguna untuk menyembuhkan penyakit mereka atau menghilangkan derita-derita mereka,” sambung Imam Jawad. “Itu semata-mata karena mereka tidak tahu manfaat obat tersebut. Demikianlah orang yang takut mati. Karena tidak tahu apa itu mati, mereka menyimpan rasa khawatir kepada.”

“Wahai teman-teman!” sambung sang Imam. “Demi Dzat yang telah mengutus Muhammad sebagai Rasul! Orang yang siap menghadapi mati, kapan pun dan dimana pun juga adalah orang yang telah siap dengan bekal yang cukup. Persiapannya itu jauh lebih bermanfaat dari obat yang sangat mujarab bagi seorang pasien yang sakit. Sungguh apabila mereka tahu besarnya nikmat yang akan mereka peroleh setelah kematian, niscaya mereka akan mencarinya dan mencintainya lebih dari usaha seorang pesakit yang mencari obat untuk kesembuhannnya.”

Ajal atau maut memang sebuah misteri yang sangat menakutkan sebagian orang. Betapa tidak, ia pasti akan datang menjemput, cepat atau lambat, di mana saja dan kapan saja. Ia adalah suatu kemestian yang tak dapat di tawar-tawar. Apabila saatnya tiba, tidak seorang pun yang akan bisa meminta untuk menundanya; atau apabila saatnya belum tiba, tidak seorang pun yang akan bisa meminta untuk disegerakan menjemputnya. Orang yang merasa sudah sangat jemu dengan kehidupan dunia lantaran penderitaan yang terlalu banyak atau problema-problema yang tak terselesaikan tidak akan bisa menghardik ajal apabila tiba-tiba ia datang ke hadapannya. Karena itu, ia adlah sebuah misteri yang tidak akan bisa dipahami sampai kapan pun.

Ada dua kategori maut kata Ibnu ‘Arabi. Pertama, adalah al-Maut al-Idhthirari, mati secara terpaksa’ mati yang tidak dikehendaki oleh tuannya. Meskipun ia tahu bahwa dia tidak dapat mengelak. Mati jenis ini adalah suatu kemestian yang tak dapat ditunda. Bukan hanya manusia, juga seluruh benda hidup yang ada di atas dunia yang fana ini. Kedua, adalah Al-Maut Al-Ihktiyari, mati secara rela, yakni tuannya dengan hati yang rela menyambut kedatangan malaikat maut yang akan menjemputnya.

Kelompok kedua ini adalah kelompok manusia yang mencari ajal, bukan yang dicari oleh ajal. Dia melihat bahwa mati bukan sebagai derita, tetapi sebagai pertemuan antara dua kekasih. Kekasih yang nisbi ingin berjumpa dengan Kekasih Yang Mahamutlak. Untuk berjumpa dengan Yang Mahamutlak, dia siap menempuh apa pun jalan yang mungkin bisa mengantarkannya, kendatipun penuh liku-liku dan kendala-kendala yang besar. Apabila kita mendengar ada sekelompok manusia yang berani mati demi tegaknya agama Allah, itu sebenarnya sebuah isyarat bahwa ia memilih Al-Maut Al-Ikhtiyari. Karena baginya kepentingan Sang Kekasih di atas segala kepentingannya. Kepada kelompok ini Allah memanggil mereka dengan sebutan al-Nafs al-Muthmainah, jiwa-jiwa yang damai. Allah swt. Berfirman dalam kitab suci Alqur’an, “Wahai jiwa-jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai…..” (89:28)

Bagi orang bertipe ini, maut baginya adalah sebuah nikmat. Dan karena ia adalah nikmat, maka secara sadar dia mencarinya dan mendambakan kehadirannya.