"Keindahan politik terletak pada sikap adil ketika memimpin dan memberi maaf ketika berkuasa".Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang berasal dari keluarga Bani Umawiyyah. Ia dikenal zuhud dan wara’ dalam beragama. Berbeda dengan para leluhurnya yang dikenal angkuh dan suka menghambur-hamburkan harta kekayaan. Meskipun periode pemerintahannya relatif sangat singkat (99-102 H), namun Umar bin Abdul Aziz telah berhasil merombak sejumlah kebijaksanaan yang berkaitan dengan umat Islam dan akidah mereka.
Sejarah mencatat bahwa Umar bin Abdul Aziz-lah yang pertama kali memulai membaca kalimat Innallaha ya’muru bil’adli wal ihsan….(16:90) dalam setiap khotbah jum’atnya, kemudian memerintahkan seluruh khatib untuk membaca ayat serupa pada bagian kedua dari khotbah Jum’at. Hal ini dilakukannya sebagai ganti dari ketentuan Muawiyah yang mewajibkan setiap mimbar jum’at untuk mencaci Ali dan keluarganya sepanjang hampir empat puluh tahunan
Pemerintah Umar bin Abdul Aziz berjalan dengan penuh keadilan. Dia berupaya menghapus sistem nepotisme yang telah dipraktikan oleh Dinasti Umawiyah puluhan tahun. Dia mendistribusikan kekayaan rakyat secara rata. Dia menanggalkan seluruh jubah kebesarannya dan rela mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Dia menderita karena penderitaan rakyat dan memilih untuk puasa daripada melahap fasilitas-fsilitas kerajaan yang diberikan kepadanya. Dia melihat kekuasaan sebagai sebuah amanat bukan sebuah nikmat. Karena amanat, ia harus ditunaikan dengan sempurna. Mengabaikannya bisa berarti khianat kepada hati nurani, kepada rakyat, apalagi kepada Allah.
Suatu hari hamba sahaya perempuannya pernah berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, semalam aku bermimpi tentang sesuatu yang sangat mengharukan.”
“Mimpi apa itu?” tanya sang Khalifah.
“Aku bermimpi tentang hari kiamat. Saat itu semua manusia dibangkitkan oleh Allah; timbangan hisab telah disiapkan dan titian shiratal-mustaqiem juga telah dibentangkan.”
Mendengar tentang shiratal mustaqim atau titian mustaqim yang kelak akan dilewati setiap orang, terbayang dalam benak Umar bin Abdul Aziz akan hadits yang menyatakan bahwa kelak manusia yang akan melewatinya terbagi ke dalam beberapa kelas. Ada kelompok manusia yang sangat cepat dapat melewatinya laksana kilat, ada yang dapat melewatinya secepat lari kuda, ada yang melewatinya dengan merangkak, bahkan ada yang sampaik jatuh bangun. Umar bin Abdul Aziz tahu bahwa aneka ragam manusia yang melewati shirat sebenarnya adalah refleksi dari amal dan kepatuhan mereka kepada Allah di dunia ini. Mereka yang jatuh bangun dalam beramal saleh di dunia. Orang yang merangkak di shirat adalah mereka yang “merangkak” dalam beramal saleh di dunia. Orang yang melewati shirat laksana kilat adalah mereka yang tergolong dalam kelompok orang-orang yang segera menunaikan perintah Allah tanpa pernah menundanya.
“Teruskan cerita mimpimu!” kata Umar bin Abdul Aziz kepada hamba ini
“Kulihat diantara orang pertama yang dihadapkan untuk dihisab adalah Abdul Malik bin Marwan (Penguasa Bani Umaiyah dari tahun 65-86 H)” sambungnya. “Aku melihat para malaikat berkata kepadanya, “Wahai Abdul Malik, jalanlah di atas shiratal-mustaqim ini”.
Kemudian Abdul Malik bin Marwan mulai meletakkan kakinya ingin melangkah. Baru saja ia berjalan selangkah atau dua langkah tiba-tiba ia jatuh ke dalam jurang api neraka. Kudengar suara pekik dan tangisnya mohon ampunan. Tetapi, hari itu adalah hari hisab tanpa bisa beramal, seperti dunia adalah hari amal tanpa hisab.
Berikutnya datang pula putranya, Walid bin Abdul Malik bin Marwan. Para malaikat itu juga berkata kepadanya “Wahai Walid, berjalanlah lewat shiratal mustaqim,” seperti ayahnya, ketika Walid hendak melangkahkan kakinya di atas titian, tiba-tiba ia pun tergelincir dan jatuh ke dalamnya. Begitulah yang terjadi terhadap sejumlah khalifah-khalifal lain.”
Umar bin Abdul Aziz tidak dapat membendung air matanya yang terus mengalir. Dia tahu betul bahwa tanggung jawab seorang Khalifah dan penguasa tidak sama dengan tanggung jawab rakyat biasa. Apabila seorang penguasa bersikap adil, dia akan memperoleh kedudukan yang sangat tinggi di surga. Tetapi, apabila tidak, neraka waylah-lah tempat kembalinya.
“Lalu tibalah giliranmu wahai Amiriul Mukmini.” Kata si hamba secara perlahan.
Sampai di sini tiba-tiba Uamr bin Abdul Aziz berteriak histeris. Tangisnya semakin kuat. Badannya gemetar. Jiwanya kecut. Mukanya pucat. Hatinya seperti luluh lantah dan teriris-iris mengingat hari yang maha dahsyat itu. Teringat dalam benaknya keangkeran api neraka seperti yang dikatakan oleh Allah dalam Kitab-Nya. “(Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka): rasakanlah sentuhan api neraka” (54:48) Umar memukul-mukuli kepalanya dan hampir-hampir pingsan. Wanita itu bingung. Dia tidak menduga bahwa tuannya akan menderita sedemikian rupa lantaran mendengar ceritanya. Dia berusaha menenangkan tuannya, tetapi tidak berasil. Akhirnya, dengan suara yang agak keras dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, demi Allah aku melihat engkau berhasil melewati shiratal-mustaqim. Engkau dapat sampai ke surga dengan selamat.
Seketika itu juga Umar bin Abdul Aziz reda dan diam kembali. Tetapi, dia tidak bisa bicara. Untuk selanjutnya dia bersikap lebih hati-hati dalam memikul amanat Allah yang mahaberat itu.
Pemerintah Umar bin Abdul Aziz berjalan dengan penuh keadilan. Dia berupaya menghapus sistem nepotisme yang telah dipraktikan oleh Dinasti Umawiyah puluhan tahun. Dia mendistribusikan kekayaan rakyat secara rata. Dia menanggalkan seluruh jubah kebesarannya dan rela mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Dia menderita karena penderitaan rakyat dan memilih untuk puasa daripada melahap fasilitas-fsilitas kerajaan yang diberikan kepadanya. Dia melihat kekuasaan sebagai sebuah amanat bukan sebuah nikmat. Karena amanat, ia harus ditunaikan dengan sempurna. Mengabaikannya bisa berarti khianat kepada hati nurani, kepada rakyat, apalagi kepada Allah.
Suatu hari hamba sahaya perempuannya pernah berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, semalam aku bermimpi tentang sesuatu yang sangat mengharukan.”
“Mimpi apa itu?” tanya sang Khalifah.
“Aku bermimpi tentang hari kiamat. Saat itu semua manusia dibangkitkan oleh Allah; timbangan hisab telah disiapkan dan titian shiratal-mustaqiem juga telah dibentangkan.”
Mendengar tentang shiratal mustaqim atau titian mustaqim yang kelak akan dilewati setiap orang, terbayang dalam benak Umar bin Abdul Aziz akan hadits yang menyatakan bahwa kelak manusia yang akan melewatinya terbagi ke dalam beberapa kelas. Ada kelompok manusia yang sangat cepat dapat melewatinya laksana kilat, ada yang dapat melewatinya secepat lari kuda, ada yang melewatinya dengan merangkak, bahkan ada yang sampaik jatuh bangun. Umar bin Abdul Aziz tahu bahwa aneka ragam manusia yang melewati shirat sebenarnya adalah refleksi dari amal dan kepatuhan mereka kepada Allah di dunia ini. Mereka yang jatuh bangun dalam beramal saleh di dunia. Orang yang merangkak di shirat adalah mereka yang “merangkak” dalam beramal saleh di dunia. Orang yang melewati shirat laksana kilat adalah mereka yang tergolong dalam kelompok orang-orang yang segera menunaikan perintah Allah tanpa pernah menundanya.
“Teruskan cerita mimpimu!” kata Umar bin Abdul Aziz kepada hamba ini
“Kulihat diantara orang pertama yang dihadapkan untuk dihisab adalah Abdul Malik bin Marwan (Penguasa Bani Umaiyah dari tahun 65-86 H)” sambungnya. “Aku melihat para malaikat berkata kepadanya, “Wahai Abdul Malik, jalanlah di atas shiratal-mustaqim ini”.
Kemudian Abdul Malik bin Marwan mulai meletakkan kakinya ingin melangkah. Baru saja ia berjalan selangkah atau dua langkah tiba-tiba ia jatuh ke dalam jurang api neraka. Kudengar suara pekik dan tangisnya mohon ampunan. Tetapi, hari itu adalah hari hisab tanpa bisa beramal, seperti dunia adalah hari amal tanpa hisab.
Berikutnya datang pula putranya, Walid bin Abdul Malik bin Marwan. Para malaikat itu juga berkata kepadanya “Wahai Walid, berjalanlah lewat shiratal mustaqim,” seperti ayahnya, ketika Walid hendak melangkahkan kakinya di atas titian, tiba-tiba ia pun tergelincir dan jatuh ke dalamnya. Begitulah yang terjadi terhadap sejumlah khalifah-khalifal lain.”
Umar bin Abdul Aziz tidak dapat membendung air matanya yang terus mengalir. Dia tahu betul bahwa tanggung jawab seorang Khalifah dan penguasa tidak sama dengan tanggung jawab rakyat biasa. Apabila seorang penguasa bersikap adil, dia akan memperoleh kedudukan yang sangat tinggi di surga. Tetapi, apabila tidak, neraka waylah-lah tempat kembalinya.
“Lalu tibalah giliranmu wahai Amiriul Mukmini.” Kata si hamba secara perlahan.
Sampai di sini tiba-tiba Uamr bin Abdul Aziz berteriak histeris. Tangisnya semakin kuat. Badannya gemetar. Jiwanya kecut. Mukanya pucat. Hatinya seperti luluh lantah dan teriris-iris mengingat hari yang maha dahsyat itu. Teringat dalam benaknya keangkeran api neraka seperti yang dikatakan oleh Allah dalam Kitab-Nya. “(Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka): rasakanlah sentuhan api neraka” (54:48) Umar memukul-mukuli kepalanya dan hampir-hampir pingsan. Wanita itu bingung. Dia tidak menduga bahwa tuannya akan menderita sedemikian rupa lantaran mendengar ceritanya. Dia berusaha menenangkan tuannya, tetapi tidak berasil. Akhirnya, dengan suara yang agak keras dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, demi Allah aku melihat engkau berhasil melewati shiratal-mustaqim. Engkau dapat sampai ke surga dengan selamat.
Seketika itu juga Umar bin Abdul Aziz reda dan diam kembali. Tetapi, dia tidak bisa bicara. Untuk selanjutnya dia bersikap lebih hati-hati dalam memikul amanat Allah yang mahaberat itu.
Assalamualaikum...
BalasHapuspak kumaha damang...?
semoga kebaikan diberikan kepada anda semua...
BalasHapussebuah cerita yang menarik,
namun hanya orang yang kurang berpengetahuan saja yang tidak bisa menghisab dirinya sendiri,
pada saat kita teringat akan kematian,
kita menjadi takut, karena diri kita tahu bahwa sedikit sekali amalan kebaikan yang kita kerjakan,
pada saat kita teringat orang tua kita yang telah tiada kita menjadi rindu dan takut,
kapankah kita bisa membalas kebaikan dan kasih sayang mereka,
seumur hidup aku berbuat amal kebaikan tidak pernah cukup untuk menggantikan satu hembusan nafas pada saat ibu melahirkan diriku...SUBHANALLAH...SUBHANALLAH...
Jadi saudaraku hisablah dirimu didunia ini,
janganlah tunggu ALLAH yang akan menimbangmu,
semoga keutamaan dilimpahkan kepada kalian semua...
Allohuakbar,Dahsyat sekali Kang,salam kenal dari Habib Amin Nurrokhman di Kebumen
BalasHapusAdakah pemimpin pemimpin kita atau wakil wakil rakyat kita juga membacatulisan diatas???
BalasHapussubhanallah, mudaha-mudahan kita termasuk orang-orang yg beruntung di dunia dan bahagia di akherat.
BalasHapustulisan yang sangat bermanfat........