Rabu, 26 November 2008

Tuntutan Sahabat pada Akhir Hayat Nabi


"Jadilah pamaaf ketika kau berkuasa, pemurah ketika kau susah, mengutamakan kepentingan orang lain ketika kau butuh, kelak kamu akan sempurnalah keutamaanmu."



Abdullah bin Abbas bercerita, “Menjelang wafatnya Nabi saw., diperintahkannya Bilal untuk mengumandangkan suara azan". Para sahabat datang berduyun-duyun ke mesjid Nabawi memenuhi aruan azan itu, meskipun waktu sholat belum tiba. Nabi masuk ke dalam mesjid dan melakukan dua rakaat shalat sunat. Kemudian, dia naik ke atas mimbar dan memulai khotbahnya yang panjang. Beliau ucapkan pujia-pujian kepada Allah Yang Maha Agung sehingga menggetarkan setiap hati yang mendengarnya dan memeras air mata orang yang mengikutiknya. Kemudian Beliau berkata : “Ayyuhal Muslimun, aku adalah Nabi utusan Allah, pemberi nasihat dan pembawa kebenaran kepada kalian. Kedudukan aku di antara kalian bagaikan seorang ayah yang sangat kasih kepada anak-anakmua. Apabila ada di antara kalian yang merasa pernah aku zalimi, kuharap dia mau menuntutnya dariku di dunia ini sebelum datangnya tuntutan yang amat dahsyat pada hari akhirat kelak”


Berulang kali Nabi mengucapkan kata-katanya itu, tetapi tidak ada suara yang mau menanggapinya. Siapa gerangan pengikut Muhammad yang akan merasa tega menuntut Nabi saw. Semua sahabat diam termanggu. Ada yang terisak-isak menangis menyaksikan ketulusan dan keadilan sang Pemimpin agung ini. Mereka tak dapat membayangkan betapa seorang pemimpin yang maha agung dan sudah berkorban segala-galanya demi umatnya, tiba-tiba pada akhir hayatnya dan dalah keadaan badan yang sudah lemah masih menegakkan keadilan seadil-adilnya hatta untuk dirinya sendiri.



Mendengar kata-kata ‘Akasyah seperti itu para sahabat yang duduk di sekitar Nabi merasa seakan disambar petir yang maha dasyat. Mereka pangling. Kerongkongan mereka tersumbat, tidak dapt berbicara. Jantung mereka berdebar keras seperti mau pecah. Suara tangis mereka saling bersahutan dengan suara tangis dinding-dindingmesjid Nabawi yang ikut menyaksikan peristiwa yang amat mendebarkan itu,

“Biarkan ‘Akasyah mengajukan tuntunannya padaku ,”kata Nabi menerangkan hadirin. “Aku lebih bahagia apabila aku bisa meninaikannya di dunia ini sebelum di dunia ini sebelum tibanya sebelum hari kiamat kelak. Wahai ‘Akasyah katakanlah apa yang telah kulakukan terhadap dirimu sehingga kau berhak membalasnya dariku.”

“Ya rasulullah, peristiwa itu terjadi pada ghazwah Badar.”kata’Akasyah mengenang. “Waktu itu untaku persis berada di samping untamu. Aku turun dari untaku karena ingin menghampirimu Tiba-tiba kau angkat kayu penyebat dan kayu mengenai bagian belakangku. Aku tidak tahu apakah kau lakukan itu dengan sengaja atau karna ingin menyebat untamu itu?”

“Wahai ‘Akasyah, Rosul Allah tidak akan mungkin melakukan perbuatan seperti itu dengan sengaja. Tetapi, bagaimnapun kau punya hak untuk membalasnya, “jawab Rasulullah. “Wahai Bilal, pergilah ke rumah Fatimah putriku dan ambil kayu itu di sana,” kata Rasulullah melanjutkan.

Bilal keluar dari mesjid sambil menarik napasnya pajang-panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya kepada putri kesayangan Nabi saw. Fatimah pasti akan merasa terkejut sekali apabila diketahuinya bahwa ayah dituntut oleh salah seorang sahabatnya. Bukan menuntut harta, melainkan menuntut qishas dengan membalas sebatan Nabi pada punggungnya. Itu pun pada saat-saat akhir hayatnya dan dalam keadaan badan Nabi yang sering sakit-sakitan.

“Wahai Fatimah putri Penghulu alam semesta,” kata Bilal setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam kepada Fatimah. “Nabi meminta sebatang kayu yang dahulunya sering digunakannya untuk menyebat untanya.”

“Untuk apa hai Bilal?” tanya Fatimah ingin tahu.
“Nabi hendak memberikan kayu itu kepada seseorang yang mau mengqishasnya (membalasnya),” jawab Bilal.
“Wahai Bilal, apakah ada orang yang tega memukul Nabi dengan kayu itu?”

Tanpa perlu menjawab, Bilal meninggalkan rumah Fatimah sambil membawa kayu itu. Sesambpainya di mesjid, Bilal memberikan kayu itu kepada Rasululloh yang kemudian memberikannya lagi kepada ‘Akasyah. Abu Bakar dan Umar menyaksikan keajian itu dengan penuh keharuan. Mereka berkata, “Wahai ‘Akasyah, kami mau menjadi tebusan Nabi saw. Balaslah kami asal kau jangan balas jasad Nabi saw.”

“Biarkanlah ‘Akasyah wahai Abu Bakar dan Umar. Sungguh Allah Mahatahu akan kedudukan kalian,” kata Nabi meyakinkan dua sahabat ini.

“Wahai ‘Akasyah jiwa ini adalah tebusannya Nabi saw. Hatiku tidak dapat menerima apa yang akan kaulakukan terhadap Nabi yang mulia. Ini punggungku dan tubuhku. Pukullah aku dengan tanganmu dan sebatlah aku dengan segala kekuatanmu,” kata Ali pilu.
“Tidak hai Ali,” kata Nabi. “Sungguh Allah Mahatahu akan niat dan kedudukanmu.”

Hasan dan Husein, dua cucu Nabi yang sangat disayanginya kemudian berdiri dan berkata dengan suara yang lirih, “Wahai ‘Akasyah, bukankah kautahu bahwa kami adalah cucu Rasululloh saw, darah dagingnya dan cahaya matanya. Mengambil qishas dari kami adalah sama dengan mengambil qishas dari Rasululloh.”

“Tidak hai Hasan dan Husein. Kalian adalah cahaya mata hatiku. Biarkanlah ‘Akasyah melakukan apa yang ingin dilakukannya,” kata Nabi.

“Wahai ‘Akasyah, pukullah aku apabila benar bahwa aku pernah memukulmu,” pinta Rasululloh kepada ‘Akasyah.

“Tapi ya Rasululloh, waktu kaupukul aku, saat itu aku tengah tidak memakai baju,” jawab ‘Akasyah.

Nabi membuka bajunya dan menelungkup siap untuk diambil qishas dari ‘Akasyah. Para sahabat menangis histeris menyaksikan kejadian itu. Tiba-tiba ‘Akasyah membuang kayu yang digenggamnya, lalu memeluk dan menempelkan tubuhnya pada tubuh Rasululloh saw.

Katanya, “Wahai junjungaku Rasululloh, jiwa ini adalah tebusanmu, hati siapa yang tega mengambil qishas darimu. Aku lakukan ini semata-mata berharap badan ini bisa bersentuhan dengan badanmu yang mulia. Denganmu kuharap Allah akan bisa memelihara dari sentuhan api neraka.”

Nabi kemudian bersabda, “Ketahuilah bahwa siapa yang ingin melihat penghuni surga maka lihatlah orang ini.”



1 komentar:

  1. Yap.. Riwayat itu benar and Shahih..
    seperti yang kita ketahui bahwa nabi bersabda.. "Ashaby Ka al-Nujum", dan saya agak lupa apa ini hadits atau hanya sekedar riwayat bahwa "ma jara baina ashaby naskutu"
    kalau melihat dari semua riwayat itu, maka sepantasnya jika nabi memuliakan sahabat-sahabatnya.. jangan sampai kita mencaci mereka mungkin karena sebuah kejadian yang kita belum tau persis bagaimana awalnya..seperti perang jamal atau lainnya..
    kita harus meniru jejak para ulama' salaf al-shalih yang sangat mengagungkan sahabat setelah Rasulullah.. dan kita tahu bahwa "Khairukum man ittaba'a as-Salaf as-Shalih..

    BalasHapus