Dalam perjalanan haji bersama jamaah rombongannya Ibrahim Al-Wasithi, sufi yang hidup pada abad keempat Hijriah, tiba di Arafah. Saat wukuf, dia hanya asyik dengan amal ibadah dan do’a-do’a. sepanjang hari tanggal 9 Zulhijah itu Al-Wasithi hanya berzikir dengan penuh khusyuk sambil menangis teringat akan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Bukankah Ibadah Haji adalah bertamu ke haribaan Allah ‘Azza wa Jalla. Bukankah ibadah haji adalah saran kembali kepada Allah dari segala dosa. Bukankah Padang Arafah adalah tempat hamba-hamba Allah mengadu dan mengakui segala dosanya, lalu Allah dengan kasih sayang-Nya akan mengampuni seluruh dosanya, walau sebanyak butir yang ada di padang sahara sekalipun.....
Al-Wasithi memanfaatkan waktu yang hanya satu kali satu tahun itu dengan penuh makna. Dia tahu betul arti hari arafah. Suatu tempat menurut sebagian riwayat – Nabi Adam, bapak umat manusia mengakui kesalahan-kesalahannya di hadapan Allah lalu allah dengan rahmat-Nya menerima permohonan tobatnya.
Usai beribadah dan zikir panjang, Al-Wasithi keluar dari kemahnya ingin menghirup udara Arafah. Dia memperhatikan langit-langit biru yang menutupi padang Arafah yang terbentang lebar. Sambil memuji-memuji allah, Al-Wasithi terus fana dalam renungan dan tafakur akan keesaan Allah Rabbul Jalal. Kemudian, dia berjalan perlahan selangkah demi selangkah, sampai akhirnya ia menemukan seonggokan batu-batu kecil yang akan bisa digunakan untuk melempar jumrah kelak. Sebelum menjemput batu-batu itu, ia ingin agar seluruh yang ada disekitar Padang Arafah menyaksikan ikrarnya sebagai seorang Muslim dan seorang hamba Allah. Sambil menggenggam batu-batu Arafah, Al-Wasithi berkata, “Wahai batu-batu Arafah, saksikanlah kelak di hadapan Allah bahwa aku berikrar Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadan “Abduhu Wa Rasululhu, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.”
Malam 10 Zulhijjah, saat ketika rombongan haji akan meninggalkan Arafah dan berangkat menuju ke Muzdalifah kemudian ke Mina untuk melakukan sisa menasik haji yang belum terlaksana, seperti mabil sejenak di Masy’ar atau sejenak sebelum berangkat Al-Wasithi tidur kecapaian. Katanya, dia bermimpi dalam tidurnya bahwa hari kiamat telah tiba. Lautan manusia tengah berdiri menanti hisab dari Allah. Keadaan seperti Arafah tempat manusia berdiri dengan pakaian yang sama dan tidak terlihat ada yang lebih utama dari sesamanya kini terlihat kembali dalam mimpinya dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dia saksikan betapa dahsyatnya hari itu. Semua manusia hanya memikirkan dirinya sendiri. Semua manusia menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya, betapapun kecilnya perbuatan dosa itu. Tidak terlihat si anak mau menolong si ayah. Tidak terlihat si istri memikirkan nasib suaminya. Semuanya sendiri-sendiri. Yang dipikirkannya hanya sirinya semata-mata; apakah dia bisa selamat atau mungkin akan diazab oleh Alloh swt.
Tiba saat hisab. Satu demi satu orang dihisab dan ditimbang amalnua oleh Allah swt. Tidak ada yang merasa dizalimi atau diperlakukan sewnang-wenang oleh allah. Semuanya dihitung seadil-adilnya oleh Yang Maha Adil. Tiba giliran A-Wasithi untuk dihisab. Wajahnya berubah pucat. Dia menanti hasilnya, apakah ia akan selamat atau tidak. Betapa terkejutnya ketika tiba-tiba ia digiring ke arah api neraka usai dihisab. Dia menangis dan mohon pertolongan. Tapi pada hari itu siapa yang sanggup menolongnya. Dia merintih dan menjerit. Dia memohon agar dikembalikan ke dunia untuk bisa beramal, walau sebentar saja. Namun hari itu adalah hari pembalasan. Bukan hari amal. Dahulu di dunia manusia telah diberi kesempatan oleh allah untuk beramal, namun mereka kadang-kadang lalai dan bahkan mengabaikannya.
Setibanya al-Wasithi di pintu neraka, dan ketika dia hampir-hampir dijebloskan ke dalamnya, tiba-tiba ada sebuah batu muncul dan berupaya menahannya. Malaikat azab berusaha menggeserkan batu tersebut, tetapi mereka tak berdaya. Dibawanya lagi Al-Wasithi ke pintu kedua, tetapi batu lain muncul lagi menghalanginya. Begitulah seterusnya sampai pintu ke tujuh. Setiap kali batu itu menahannya dari api neraka, ia kemudian bersaksi, “Ya allah, kami adalah batu-batu kecil Arafah. Kami menyaksikan bahwa si Polan ini telah berikrar dan bersaksi bahwa tiada Tuhan ,melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasululloh”. Para malaikat kemudian membawanya ke ‘Arasy. Di sana kemudian Allah berfirman, “Batu-batu Arafah itu telah menyaksikan ikrar dan syahadahmu dan mereka tidak menyia-nyiakanmmu. Karena itu, mana mungkin aku akan sia-siakan ikrarmu. Aku terima syahadah dan kesaksianmu. Dan kini masuklah ke dalam surga-Ku”………..
(sumber dari dialog-dialog Sufi – Husein Shahab)
Memang dari dulu Bani Israil jahil ya,hehehehe
BalasHapus