"Seorang pelanggar yang mengakui dosa-dosanya adalah lebih baik dari seorang yang patuh yang berbangga akan amal-amalnya"
Suatu hari Syekh Abu Nasr Al-Samarkandi, pengagum berat Imam Hasan A;-Bashri, pernah bercertia kepada para muridnya perihal tokoh sufi idealnya ini.
“Jauh sebelum Imam Hasan Al-Bashri dikenal sebagai sufi besar dan ketika beliau masih berusia muda,” kata Syekh memulai ceritanya. “Beliau dikenal sebagai pemuda yang sangat tampan dan memikat. Hampir setiap hari beliau memekai pakaian yang elok dan berjalan-jalan di sekitar kota Bashrah. Suatu hari, beliau berpapasan dengan seorang wanita yang cantik jelita pada sebuah lorong kota Bashrah. Selain cantik, mata si wanita sangat memikat hati Hasan muda ini. Tidak puas dengan sekadar melihat, Hasan muda kemudian menguntitnya dari belakang. Diperhatikannya cara wanita ini berjalan sampai kemudian Hasan menyapanya.
Suatu hari Syekh Abu Nasr Al-Samarkandi, pengagum berat Imam Hasan A;-Bashri, pernah bercertia kepada para muridnya perihal tokoh sufi idealnya ini.
“Jauh sebelum Imam Hasan Al-Bashri dikenal sebagai sufi besar dan ketika beliau masih berusia muda,” kata Syekh memulai ceritanya. “Beliau dikenal sebagai pemuda yang sangat tampan dan memikat. Hampir setiap hari beliau memekai pakaian yang elok dan berjalan-jalan di sekitar kota Bashrah. Suatu hari, beliau berpapasan dengan seorang wanita yang cantik jelita pada sebuah lorong kota Bashrah. Selain cantik, mata si wanita sangat memikat hati Hasan muda ini. Tidak puas dengan sekadar melihat, Hasan muda kemudian menguntitnya dari belakang. Diperhatikannya cara wanita ini berjalan sampai kemudian Hasan menyapanya.
“Wahai Polan! Sejak tadi kurasakan engkau mengikutiku. Apakah kau tidak menyimpan sedikit rasa malu?” tanya si wanita.
“Kepada siapa aku harus malu?” Hasan balik bertanya.
“Seharusnya kau malu kepada Allah, Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Tahu terhadap mata-mata yang berkhianat dan apa yang tersembunyi di balik dada.”
Namun, apa daya nafsu Hasan muda lebih menguasai dirinya daripada akal atau imannya. Kendatipun perbuatan itu adalah dosa dan dimurkai oleh Allah, namun tidak jarang memang nafsu manusia bisa mengalahkan rasio dan kalbunya daripada sebaliknya. Akal dan kalbu seharusnya mengaontrol nafsunya.
Karena kecenderungan nafsu menguasai akal lebih besar daripada sebaliknya, untuk mengingatkan diri dan lebih menghayati keharusan memiliki akal yang dominan, munajat mereka seperti berikut.
Illahi qalbi mahjub, wa nafsi ma’yub,
Wa ‘aqli maghlub, wa hawa-i ghalib,
Wa tha’ati qalil, wa ma’shiyati kathir,
Wa lisani muqirrun bi al-dzunub,
Fa kaifa hilati ya sattaral ‘uyub,
Wa ya ‘allamal ghuyub,
Ighfir dzunubi kullaha bi hurmati Muhammadin wa ali Muhammad....”
Illahi,
Hatiku ini telah tertutupi hijab,
Jiwaku ini telah dipenuhi aib,
Akalku ini telah dikalahkan,
Hawa nafsuku ini telah mengalahkan,
Ketaatanku sangat sedikit,
Maksiatku sangat banyak,
Lidahku mengakui dosa-dosanya,
Maka bagaimana kesudahannya,
Wahai Yang Maha Penutup segala aib,
Wahai Yang Mahatahu segala yang gaib,
Ampunilah dosa-dosaku semua
Demi keagungan Muhammad dan keluarganya.
Hasan muda terus mengejar wanita jelita itu. Hatinya bergelora ingin segera berkenalan dengannya. Dia tidak mau peduli dengan siapa pun yang berupaya menghalangi kehendakinya. Sampai kemudian si wanita ini berhenti dan bertanya kepada Hasan, “Wahai Polan! Bisakah kutahu mengapa kau terus menguntitku?”
“Duhai belahan nyawaku!” jawab Hasan muda. “sungguh, hati ini sangat terpikat pada matamu yang sangat indah itu.”
“Kalau begitu, tunggulah di sini, dan sebentar lagi akan kuutus padamu sesuatu yang bisa memenuhi kehendak nafsumu,” jelas wanita itu singkat.
Hasan muda menduga bahwa dirinya tidak bertepuk sebelah tangan. Gayungnya bersambut. Harapan nafsunya yang membakar seluruh jiwanya akan terpenuhi tidak lama lagi. Tidak lama memang. Saat Hasan muda tengah berdiri di persimpangan jalan, tiba-tiba ia didatangi oleh seorang perempuan kecil yang berwajah kumuh. Di tangannya ada nampan kecil yang tertutup kain. Dengan suara yang lemah, perempuan ini berkata, “Tuan, aku diperintahkan oleh majikanku untuk membawa nampan ini kepadamu. Katanya, dia tidak ingin memiliki mata yang dengannya ia mendapat murka dan karenanya seseorang menjadi terpedaya.”
Hasan muda ini kagetnya bukan kepalang. Dia tidak bisa memahami kata-kata perempuan ini. Dia juga tidak tahu apa yang tengah dihadapinya dan apa yang seharusnya dia lakukan. Usai menerima nampan itu, dan setelah ia buaka kain penutupnya, Hasan muda menjerit sambil istigfar kepada Allah berkali-kali. Ternyata dalam nampan itu tergulir dua bola mata indah yang sangat memikat hati Hasan muda tadi. Sembari memegang janggutnya yang terulur rapi, Hasan muda ini berkata kepada dirinya:
Wahai jiwa yang hina dina
Wahai Hasan yang memiliki jiwa yang rendah
Siapakah dirimu di hadapan wanita salehah itu
Takutlah kepada Allah dan mohonlah ampunan dari-Nya
Sejak saat itu Hasan Bashri sangat menyesali perbuatannya. Dia bertobat dengan taubatan nashuha. Dia benar-benar kembali ke haribaan Allah dan meniti perjalanan rohaninya dengan sangat rajin dan sungguh-sungguh, sampai akhirnya dia dikenal sebagai salah seorang dari pemuka tokoh sufi periode awal.
“Kepada siapa aku harus malu?” Hasan balik bertanya.
“Seharusnya kau malu kepada Allah, Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Tahu terhadap mata-mata yang berkhianat dan apa yang tersembunyi di balik dada.”
Namun, apa daya nafsu Hasan muda lebih menguasai dirinya daripada akal atau imannya. Kendatipun perbuatan itu adalah dosa dan dimurkai oleh Allah, namun tidak jarang memang nafsu manusia bisa mengalahkan rasio dan kalbunya daripada sebaliknya. Akal dan kalbu seharusnya mengaontrol nafsunya.
Karena kecenderungan nafsu menguasai akal lebih besar daripada sebaliknya, untuk mengingatkan diri dan lebih menghayati keharusan memiliki akal yang dominan, munajat mereka seperti berikut.
Illahi qalbi mahjub, wa nafsi ma’yub,
Wa ‘aqli maghlub, wa hawa-i ghalib,
Wa tha’ati qalil, wa ma’shiyati kathir,
Wa lisani muqirrun bi al-dzunub,
Fa kaifa hilati ya sattaral ‘uyub,
Wa ya ‘allamal ghuyub,
Ighfir dzunubi kullaha bi hurmati Muhammadin wa ali Muhammad....”
Illahi,
Hatiku ini telah tertutupi hijab,
Jiwaku ini telah dipenuhi aib,
Akalku ini telah dikalahkan,
Hawa nafsuku ini telah mengalahkan,
Ketaatanku sangat sedikit,
Maksiatku sangat banyak,
Lidahku mengakui dosa-dosanya,
Maka bagaimana kesudahannya,
Wahai Yang Maha Penutup segala aib,
Wahai Yang Mahatahu segala yang gaib,
Ampunilah dosa-dosaku semua
Demi keagungan Muhammad dan keluarganya.
Hasan muda terus mengejar wanita jelita itu. Hatinya bergelora ingin segera berkenalan dengannya. Dia tidak mau peduli dengan siapa pun yang berupaya menghalangi kehendakinya. Sampai kemudian si wanita ini berhenti dan bertanya kepada Hasan, “Wahai Polan! Bisakah kutahu mengapa kau terus menguntitku?”
“Duhai belahan nyawaku!” jawab Hasan muda. “sungguh, hati ini sangat terpikat pada matamu yang sangat indah itu.”
“Kalau begitu, tunggulah di sini, dan sebentar lagi akan kuutus padamu sesuatu yang bisa memenuhi kehendak nafsumu,” jelas wanita itu singkat.
Hasan muda menduga bahwa dirinya tidak bertepuk sebelah tangan. Gayungnya bersambut. Harapan nafsunya yang membakar seluruh jiwanya akan terpenuhi tidak lama lagi. Tidak lama memang. Saat Hasan muda tengah berdiri di persimpangan jalan, tiba-tiba ia didatangi oleh seorang perempuan kecil yang berwajah kumuh. Di tangannya ada nampan kecil yang tertutup kain. Dengan suara yang lemah, perempuan ini berkata, “Tuan, aku diperintahkan oleh majikanku untuk membawa nampan ini kepadamu. Katanya, dia tidak ingin memiliki mata yang dengannya ia mendapat murka dan karenanya seseorang menjadi terpedaya.”
Hasan muda ini kagetnya bukan kepalang. Dia tidak bisa memahami kata-kata perempuan ini. Dia juga tidak tahu apa yang tengah dihadapinya dan apa yang seharusnya dia lakukan. Usai menerima nampan itu, dan setelah ia buaka kain penutupnya, Hasan muda menjerit sambil istigfar kepada Allah berkali-kali. Ternyata dalam nampan itu tergulir dua bola mata indah yang sangat memikat hati Hasan muda tadi. Sembari memegang janggutnya yang terulur rapi, Hasan muda ini berkata kepada dirinya:
Wahai jiwa yang hina dina
Wahai Hasan yang memiliki jiwa yang rendah
Siapakah dirimu di hadapan wanita salehah itu
Takutlah kepada Allah dan mohonlah ampunan dari-Nya
Sejak saat itu Hasan Bashri sangat menyesali perbuatannya. Dia bertobat dengan taubatan nashuha. Dia benar-benar kembali ke haribaan Allah dan meniti perjalanan rohaninya dengan sangat rajin dan sungguh-sungguh, sampai akhirnya dia dikenal sebagai salah seorang dari pemuka tokoh sufi periode awal.